BAB 23 END: He is The True Evil Spirit

3 2 0
                                    

UDARA pagi terasa dingin menusuk tulang saat Sandy dan David mendekati rumah tua itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

UDARA pagi terasa dingin menusuk tulang saat Sandy dan David mendekati rumah tua itu. Kabut tipis menyelimuti bangunan megah yang terbengkalai, memberikan kesan mistis. Sesuai permintaan Elora, mereka harus memasuki rumah itu. Dengan sedikit bujukan, Elora berhasil meyakinkan penjaga yang terlihat enggan untuk membuka gerbang besi besar itu. Bunyi derit engsel pintu seolah mengundang kehadiran makhluk-makhluk halus yang bersemayam di dalamnya.

Begitu melangkahkan kaki ke dalam rumah tua itu, Sandy langsung merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. Kegelapan seolah merangkul mereka, dan bau apak yang menyengat memenuhi hidung. Setiap langkah kaki mereka menimbulkan bunyi berderit yang menggema di ruangan kosong. David ragu-ragu menyentuh sofa berlapis beludru yang tampak lembap dan dingin.

Elora mendorong dinding kayu yang usang itu, memperlihatkan sebuah tangga sempit yang mengarah ke bawah.

"Di sinilah segalanya dimulai," gumamnya, suaranya berbisik.

Dengan hati-hati, mereka menuruni tangga, cahaya senter menerobos kegelapan. Cahaya itu terpantul pada dinding-dinding berlumuran lumut, menciptakan bayangan-bayangan aneh. Di ujung tangga, mereka menemukan sebuah ruangan bawah tanah yang luas. Di tengah ruangan, berdiri sebuah altar batu hitam yang dihiasi ukiran-ukiran menyeramkan. Lilin-lilin kecil berkilauan di sekelilingnya, menerangi simbol-simbol kuno yang terukir di dinding.

"Ini adalah jantung dari semua kejahatan," bisik Elora, suaranya bergetar.

Elora mengangkat tangannya, matanya bersinar aneh dalam cahaya lilin redup. Suara mantra yang keluar dari mulutnya terdengar seperti nyanyian iblis. Ruangan itu bergetar hebat, debu berjatuhan dari langit-langit. Bayangan-bayangan aneh menari-nari di dinding, membentuk wajah-wajah mengerikan.

"Ini... ini lebih buruk dari yang kita bayangkan," ucap Sandy, suaranya gemetar.

David menggenggam tangan Sandy erat-erat, matanya terbelalak ketakutan. Sandy merasakan jantungnya berdebar kencang, hampir keluar dari rongga dadanya. Bayangan-bayangan itu semakin dekat, seakan ingin menerkam mereka. Ingatan tentang mimpi buruknya kembali menghantuinya. Pembunuhan di tahun 1979, sosok misterius yang mengejarnya, semuanya kembali teringat dengan jelas.

"Aku tidak kuat lagi," lirihnya, suaranya hampir tak terdengar. Suara mantra Elora semakin keras, menggema di seluruh ruangan.

Angin bertiup kencang, meniup lilin-lilin hingga padam. Kegelapan menyelimuti mereka, hanya suara bisikan-bisikan mengerikan yang terdengar.

"Ini adalah pertempuran terakhir," ucap Elora, suaranya terdengar tegas di tengah kegelapan.

Sandy dan David saling berpelukan, berusaha mencari kekuatan satu sama lain.

Bayangan hitam raksasa itu menjulang tinggi di atas mereka, matanya menyala merah menyala. Taring-taringnya yang tajam berkilauan di bawah cahaya remang-remang. Sandy dan David berusaha sekuat tenaga untuk menghindar, namun bayangan itu terlalu cepat. Setiap serangannya membuat mereka terhuyung ke belakang. Sandy menggenggam erat jimat yang diberikan Elora beberapa menit sebelumnya, berharap benda itu bisa melindunginya.

"Ini tidak akan berhasil!" teriak Sandy, suaranya bergetar.

Elora menatapnya dengan tatapan yang penuh makna.

"Hanya kau yang bisa menghentikannya, Sandy," ucapnya, suaranya tegas.

"Korbankan jimat itu!"

Sandy menggenggam erat jimat itu, matanya berkaca-kaca.

"Bapa, berikan kami kekuatan. Untuk selamanya."

Ia melemparkan jimat itu dengan sekuat tenaga ke arah altar. Saat jimat itu menyentuh batu hitam, cahaya menyilaukan meledak. Bayangan besar itu meraung kesakitan, tubuhnya tercabik-cabik oleh cahaya suci. Ketika cahaya meredup, bayangan itu telah lenyap. Rumah itu kembali hening, hanya terdengar suara napas mereka yang memburu.

"Kita berhasil," ucap David, suaranya bergetar karena kelegaan.

****

Beberapa hari berlalu, dan aura menyeramkan yang selama ini menyelimuti rumah tua itu perlahan mulai memudar. Polisi yang penasaran dengan laporan Sandy akhirnya datang dan melakukan penyelidikan menyeluruh. Mereka memeriksa setiap sudut rumah, mencari tanda-tanda paranormal yang sebelumnya diklaim ada. Hasilnya mengejutkan—semua bukti yang menunjukkan aktivitas supranatural telah menghilang.

Elora berdiri di depan pintu, tersenyum lega. "Sepertinya kutukannya telah benar-benar hancur," katanya dengan nada yakin.

"Kau aman sekarang, Sandy."

Sandy membalas senyuman itu, meskipun di balik matanya, sesuatu yang gelap bersembunyi.

"Terima kasih, Nyonya Elora. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa bantuanmu."

Elora mengangguk sebelum beranjak pergi, tidak menyadari rahasia kelam yang disembunyikan Sandy.

Setelah Elora pergi, Sandy berjalan pelan menuju apartemennya, membuka pintu kamar dengan tatapan dingin. Di dalam ruangan itu, semua tampak biasa, kecuali satu sudut di mana simbol-simbol aneh terukir di lantai. Ia meraih sebuah pisau kecil dari meja, dengan hati-hati menggoreskan jarinya hingga setetes darah jatuh tepat di atas simbol-simbol itu. Wajahnya tetap tenang, namun di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang mengerikan.

"Maafkan aku, Ibu, Ayah, dan adikku, Sera," bisiknya pelan, menatap simbol-simbol itu.

"Aku harus mengorbankan kalian untuk mendapatkan apa yang kuinginkan... lebih banyak korban, lebih banyak jiwa."

Senyum jahat terpancar dari wajahnya saat ia menatap cermin di hadapannya. Bayangannya berubah, dan di dalam cermin itu, Sandy yang ia lihat bukanlah Sandy yang dikenal keluarganya. Roh jahat itu kini sepenuhnya menguasai tubuhnya. Sejak hari pertama keluarga Sandy pindah ke rumah tua itu, Sandy telah menjadi korban. Pada tanggal 13, ketika seorang siswi di sekolahnya meninggal secara misterius, roh jahat itu mulai merasuki Sandy. Dan sejak saat itu, pembunuhan demi pembunuhan yang tak terjelaskan terjadi di rumah tersebut.

Selama ini, yang dipercaya Sandy sebagai kutukan yang menyerang keluarganya sebenarnya adalah perbuatan tangannya sendiri, di bawah kendali roh yang menguasai dirinya. Sandy, yang dahulu penuh kasih, telah lenyap—digantikan oleh sosok kegelapan yang haus akan darah dan penderitaan.

Dengan senyum penuh kemenangan, Sandy memandang cermin itu sekali lagi. Kini, tak ada yang bisa menghentikannya.

 Kini, tak ada yang bisa menghentikannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tanggal Berdarah "True Story of 1979" [End✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang