BAB 21: Don't Run Away

9 3 0
                                    

SANDY berusaha fokus pada pendidikannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SANDY berusaha fokus pada pendidikannya. Ia menghabiskan waktunya di kamar apartemen kecilnya, menumpuk buku-buku sekolah di atas meja, mencoba mengalihkan pikirannya dari kenangan mengerikan yang tak pernah benar-benar hilang. Suara pensil yang menggores buku catatan, bunyi lembaran kertas yang dibolak-balik, dan cahaya redup dari lampu meja belajarnya menjadi satu-satunya penghiburan di tengah kesunyian yang merayap di sudut-sudut ruangan.

Sesekali, ia berhenti menulis, menatap buku-buku di depannya. Napasnya tertahan seolah ada sesuatu yang menekan dadanya.

"Aku harus fokus," bisiknya kepada dirinya sendiri, meski hatinya berdebar tak menentu.

Namun, justru saat ia mulai berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja, rasa tidak nyaman itu kembali menyerang. Sandy menggigit bibirnya, meletakkan pensilnya dan mengusap wajah dengan kedua tangan.

Ponselnya bergetar di atas meja, dan ia segera mengangkatnya.

"David?" suaranya sedikit gemetar.

"Hei, San. Apa kabar? Kau belum keluar-keluar dari apartemen, ya? Butuh kutemani?"

Suara David terdengar penuh perhatian, meski nada cemas tak bisa disembunyikan. Sandy menghela napas panjang sebelum menjawab.

"Aku baik-baik saja. Hanya... sibuk dengan tugas. Banyak yang harus aku selesaikan."

"Kau yakin? Kau terdengar... berbeda," tanya David, terdengar ragu.

"Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita, San."

Sandy menunduk, melihat bayangannya sendiri di layar laptop yang kini mati.

"Aku... cuma butuh waktu. Rasanya belum siap untuk banyak bicara."

David terdiam sejenak.

"Aku paham. Tapi kau tahu, kan, kalau kamu nggak sendiri? Kami di sini selalu ada kalau kamu butuh."

Sandy tersenyum tipis, meskipun senyum itu tak sampai ke matanya.

"Terima kasih, David. Aku akan ingat itu."

Setelah menutup panggilan, Sandy kembali ke kursinya, namun tubuhnya terasa kaku. Ketidaknyamanan itu bagai duri dalam daging, menusuk-nusuk hatinya.

Rasanya, ada sesuatu yang mengintai di balik kegelapan, siap menerkam kapan saja. Ia menunduk, matanya mengikuti goresan pensil di atas kertas. Namun, keheningan di apartemen terasa begitu berat. Udara yang tadinya terasa hangat kini berubah dingin menusuk, seolah ada embusan napas dingin yang sengaja ditujukan padanya. Bulu kuduknya meremang, dan sebuah firasat buruk mulai merayap di hatinya. Seakan ada bayangan gelap yang mengintai dari balik kegelapan, mengamati setiap gerakannya.

Sandy mendongak perlahan, matanya menyapu sekeliling apartemennya yang kosong. Tidak ada apa-apa. Tidak ada suara, tidak ada gerakan. Namun, Sandy tahu perasaan ini—perasaan yang sama seperti yang menghantuinya di rumah lamanya. Perasaan bahwa ada sesuatu di sana, bersembunyi dalam bayangan, menunggu.

Ia berdiri dari kursinya, menatap pintu kamar yang sedikit terbuka.

"Apa hanya perasaanku saja?" bisiknya pelan, meski ia tahu jawabannya. Ini bukan sekadar imajinasi.

Tiba-tiba, lampu kamarnya mulai berkedip. Sandy membeku di tempat, dadanya terasa sesak. Jantungnya berpacu seolah berlari dari sesuatu yang tak terlihat. Bayangan-bayangan di dinding mulai menari-nari mengikuti irama lampu yang berkedip. Matanya membelalak, berusaha menangkap sesuatu yang mungkin muncul dari balik gelap.

Suara itu mulai terdengar—bisikan samar yang menggelitik di ujung telinganya. Suara yang ia kenali dengan baik, suara yang pernah mengisi malam-malam penuh teror di rumah lamanya.

"Jangan lari, Sandy...."

Suara itu berbisik, menggema di pikirannya. Suara yang tidak asing, suara yang menakutkan.

Sandy menelan ludah, punggungnya kini basah oleh keringat dingin. Ia menggelengkan kepala, mencoba menghilangkan suara itu.

"Ini... ini nggak nyata," gumamnya, suaranya pecah oleh ketakutan.

Bisikan itu semakin kuat, semakin jelas.

"Kau tidak bisa lari dari kami... kau sudah tahu itu."

Ia meraih ponselnya dengan tangan gemetar, ingin menelepon David, tapi jarinya malah terpaku di layar, tak mampu bergerak. Lampu terus berkedip, suara bisikan semakin jelas, seakan semakin dekat. Bayangan di dinding mulai berubah bentuk, tampak seperti sosok-sosok yang bergerak perlahan ke arahnya.

"Berhenti... tolong." Sandy memohon, suaranya lirih.

Sebuah suara keras terdengar dari dapur, seolah ada sesuatu yang terjatuh. Sandy tersentak, nyaris menjatuhkan ponselnya. Ia berbalik, menatap pintu dapur yang gelap gulita. Napasnya semakin berat.

"David... aku butuh kamu," bisiknya, menahan air mata yang hampir jatuh.

Ponselnya terjatuh dari tangan, ia tahu, perasaan itu benar. Ia tidak sendirian.

"Kau tidak bisa lari...."

Bisikan itu kembali terdengar jelas di telinganya.

Jantung Sandy berdegup kencang, hampir memecahkan dadanya. Ia menoleh ke jendela, berharap melihat sesuatu yang bisa menenangkannya. Namun, yang ia temukan hanyalah pantulan dirinya sendiri, pucat pasi. Di baliknya, sebuah bayangan gelap menjulang tinggi, sosok yang sangat dikenalnya dari mimpi buruknya. Bayangan itu tersenyum sinis, gigi-giginya tampak begitu tajam.

Sandy melompat dari kursinya, jantungnya berdebar kencang. Keringat dingin membasahi dahinya. Tanpa sadar, ia berlari keluar kamar, langkah kakinya tergesa-gesa. Napasnya tersenggal-senggal saat mencapai ruang tamu. Ia menoleh ke belakang, matanya mencari-cari sosok yang baru saja dilihatnya, namun, tak ada apa-apa selain bayangan gelap di sudut ruangan.

"Tidak mungkin," gumamnya, suaranya bergetar. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri.

"Pasti aku terlalu banyak berpikir."

Tapi, rasa takut itu tetap saja menghantuinya.

"Apakah kutukan ini akan terus mengikutiku?" tanyanya pada dirinya sendiri, suaranya terdengar kosong.

Ia merosot lemas di sofa, tubuhnya gemetar hebat. Pandangannya kosong, menatap ke arah langit-langit yang terasa begitu jauh. Bayangan masa lalu itu seperti rantai yang terus membelenggu kakinya.

"Kapan ini semua akan berakhir?" gumamnya lirih, suaranya penuh keputusasaan.

Ia merasa terjebak dalam lingkaran setan yang tak berujung.

Ia merasa terjebak dalam lingkaran setan yang tak berujung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tanggal Berdarah "True Story of 1979" [End✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang