BAB 20: Seclusion in the Apartment

6 2 0
                                    

SEJAK tragedi yang merenggut kedua orang tuanya dan membuatnya terperangkap dalam rumah yang penuh kengerian, hidup Sandy berubah 180 derajat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SEJAK tragedi yang merenggut kedua orang tuanya dan membuatnya terperangkap dalam rumah yang penuh kengerian, hidup Sandy berubah 180 derajat. Berkat kebaikan hati keluarga David, sahabatnya, ia kini menemukan pelabuhan sementara di sebuah apartemen sederhana. Jarak ke sekolah yang tak terlalu jauh tak lantas membuatnya kembali mengenyam pendidikan. Trauma mendalam masih menghantuinya. Sandy masih harus berjibaku dengan proses penyembuhan yang panjang, di samping menghadapi berbagai pertanyaan dari pihak kepolisian, media, dan masyarakat. Kisah pilu yang menimpanya kini menjadi konsumsi publik, termasuk teman-teman sekolahnya.

"Kamu tidak apa-apa? Kamu kelihatan lelah sekali?" tanya Lily saat berkunjung ke apartemen Sandy bersama Violet.

David yang baru saja menaruh gelasnya hanya menghela napas.

"Kamu melihat wajahnya saja sudah terlihat dia kelelahan. Aku bisa merasakan bagaimana kejamnya mimpi buruk hampir berbulan-bulan."

"Kamu benar, David! Itu benar-benar trauma yang berat," sahut Violet menuangkan jus jeruk ke gelas Sandy.

Sandy hanya bisa tersenyum tipis mendengar jawaban dari teman-temannya.

"Aku sepertinya butuh waktu, tapi aku senang bisa meluapkannya tadi dengan kepolisian."

"Kurasa mereka tidak akan membantumu mengusir roh jahat di sana.

Rumah tua itu kini dijaga ketat oleh pihak kepolisian. Pita kuning melingkari pagar besi berkarat, dan beberapa petugas berjaga di sekitar halaman, memastikan tak ada yang melintasi garis batas. Cahaya lampu kilat sesekali menyala dari kamera penyidik, memotret setiap sudut gelap dan retakan misterius pada dinding bangunan.

Sandy berdiri di seberang jalan, menatap rumah yang kini lebih menakutkan daripada sebelumnya. Dia menarik napas dalam-dalam, menyadari sesuatu yang membuat darahnya berdesir. Semua petunjuk yang dulu ia abaikan—detil-detil kecil yang awalnya tak berarti—kini terangkai jelas di benaknya.

"Kalau saja aku menyadarinya lebih awal," gumam Sandy, suara parau menggema di antara angin yang mulai dingin.

Seorang detektif bernama Hansel menghampirinya, lingkaran hitam tebal di bawah matanya menjadi saksi bisu dari malam panjang yang ia habiskan untuk menguak misteri ini. Wajahnya yang biasanya tegar kini tampak lesu, namun sorot matanya tetap tajam.

"Ini bukan sekadar kecelakaan," katanya datar.

"Kami sudah menemukan bukti. Kasus ini... sepertinya bukan hal yang baru."

Sandy menelan ludah, tangannya mengepal. "Apa maksudmu? Ini kecelakaan, kan? Tidak mungkin lebih dari itu."

Detektif itu menggeleng pelan. "Kasus ini dibuka kembali setelah 45 tahun. Ritual pemanggilan roh jahat yang pernah terjadi di rumah ini... rupanya tidak bisa lagi diabaikan."

"Aku sudah menjelaskan semuanya pada kalian sebelumnya dan kalian akan menemukan bukti di dalam rumah," ucap Sandy dengan nada tegang.

Sandy menggeleng, masih nyaris tak percaya. "Jadi, semua ini sudah berlangsung sejak lama? Dan aku melewatkan sesuatu?"

Detektif itu menatapnya dengan sorot mata tajam, penuh kewaspadaan. "Ada banyak hal yang belum kau ketahui, Sandy. Kami telah memanggil Romo dari Gereja untuk membantu... tapi mereka bilang, kekuatan yang bersemayam di rumah ini terlalu kuat. Sulit dihilangkan."

Sandy memalingkan wajah, merasakan jantungnya berdebar kencang.

"Kami juga pernah memanggil Romo untuk membantu, tapi hasilnya nihil. Tidak ada perubahan. Lalu... apa yang akan terjadi selanjutnya?"

"Saat ini, kami masih berusaha mencari cara untuk menghentikan semuanya. Tapi kau harus bersiap-siap, Sandy. Kebenaran yang akan terungkap mungkin lebih menakutkan dari yang bisa kau bayangkan. Beberapa dari kami bahkan merasa gentar saat menyusuri rumah itu lebih dalam."

Detektif Hansel menatap Sandy dengan prihatin. "Apakah kau sudah mendapatkan perawatan dari psikolog untuk mengatasi traumamu?"

Sandy tersenyum tipis, meski matanya masih penuh kegelisahan. "Ya, aku masih dalam proses terapi. Terima kasih sudah peduli, Detektif Hansel."

Hansel menepuk bahu Sandy dengan lembut.

"Kamu anak yang kuat, Sandy. Aku yakin keluargamu akan bangga. Tetap berhati-hati, ya. Kami akan selalu ada di sini untuk membantu."

"Terima kasih, Detektif Hansel. Aku akan melakukan yang terbaik."

Suara sirene ambulans terdengar dari kejauhan, membuat suasana semakin tegang. Sandy hanya bisa berdiri kaku, pikirannya terombang-ambing antara ketakutan dan rasa bersalah. Apakah ini semua memang sudah ditakdirkan terjadi? Atau hanya kebetulan buruk yang kini menghantuinya tanpa henti?

Bagi Sandy, kehadiran polisi dan sorotan media hanyalah pengingat tak berkesudahan atas kengerian yang telah ia alami. Kini, ia hidup sebatang kara, terisolasi dalam apartemen kecil yang terasa semakin sempit oleh bayang-bayang masa lalu. Meski keluarga David dengan hangat menawarkan tempat tinggal, Sandy lebih memilih menyendiri. Ia merasa tak ingin membebani siapa pun dengan kutukan yang terus mengikutinya, menghantui setiap langkah dan pikirannya. Bagi Sandy, hidup sendiri adalah satu-satunya cara untuk menjaga orang lain tetap aman dari bayangan gelap yang terus membayangi hidupnya.

 Bagi Sandy, hidup sendiri adalah satu-satunya cara untuk menjaga orang lain tetap aman dari bayangan gelap yang terus membayangi hidupnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tanggal Berdarah "True Story of 1979" [End✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang