31. Fitnah

0 0 0
                                    

Angga sedang duduk di ruang kerjanya, tiba-tiba ponsel berdering kencang. Angga meraih ponselnya, lalu menjawab telepon itu.

“Selamat pagi, Pak Angga. Kami dari pihak kepolisan. Kamu ingin memberitahukan jika Haikal—adik Bapak sedang berada di kantor kepolisian saat ini.”

Angga tertegun. “Apa yang terjadi?” tanyanya cemas.

“Dia diduga melakukan tindakan tak senonoh saat menghadiri pesta di rumah temannya,” jelas polisi itu.

Jantung Angga serasa berhenti berdetak, bahkan ia terpaku beberapa saat sampai suara polisi di seberang telepon membuyarkan lamunannya.

“Baik, saya akan segera ke sana.”

Angga menutup telepon, lalu bergegas keluar dan mendekati Aletta yang tengah duduk di sofa ruang tengah. Wajah pucat Angga terpampang jelas menimbulkan kekhawatiran Aletta.

“Kamu kenapa, sayang?” tanya Aletta dengan nada khawatir.

“Haikal ... Dia di kantor polisi. Katanya dia melakukan tindakan tak senonoh,” jawab Angga cepat.

Aletta terbelalak, tak percaya dengan perkataan Angga. “Apa? Mustahil Haikal lakukan hal kayak gitu. Kita harus segera ke sana pasti Haikal dijebak,” ujar Aletta.

Aletta dan Angga bergegas menuju kantor polisi. Sesampainya di sana, mereka melihat Haikal duduk berhadapan dengan dua polisi yang sedang menginterogasinya. Haikal tampak tegang, kepalanya tertunduk.

Angga langsung mendekati Haikal dengan langkah cepat. “Apa yang lo lakuin, hah? Kenapa lo sebodoh ini?” tanyanya dengan penuh amarah.

“Saudara Haikal bersama teman-temannya terlibat dalam pesta. Saat itu Haikal diduga melakukan tindakan tak senonoh pada saudari Sekar, mantan pacarnya.” Polisi yang duduk di depan Haikal angkat bicara.

Angga tersentak saat mendengar nama Sekar dan membuat emosinya meledak. Tanpa berpikir panjang, ia mencengkeram kerah baju Haikal dan memukul pipinya dengan keras.

“Kak Angga ... Berhenti!” Aletta berteriak. Namun Angga tak bisa mengendalikan dirinya.

Aletta berdiri di depan Angga, kemudian memeluknya agar Angga berhenti memukuli Haikal.

Haikal memegang sudut bibirnya yang mengeluarkan cairan merah, sementara Angga hendak melayangkan pukulan lagi. Namun Angga mengunci tubuh Angga.

“Cukup! Jangan emosi. Kita belum dengar penjelasan Haikal,” ujar Aletta mencoba menenangkan Angga.

Angga menatap Aletta dengan mata berkobar, ia masih dikuasai emosi. “Penjelasan apalagi? Polisi sudah punya bukti,” ucap Angga.

Aletta menatap Angga dengan penuh keyakinan. “Aku yakin Haikal nggak seburuk itu. Kamu harus percaya sama aku,” tutur Aletta pelan.

Angga terdiam, mencoba meredam emosinya. Sementara Aletta menatap Haikal yang hanya menunduk, ia melihat tangan Haikal gemetar. Dia dapat merasakan seberapa takutnya Haikal. Namun di sisi lain—Aletta juga merasakan jika kasus ini hanya kebohongan dan ada seseorang yang sengaja menjebak Haikal.

Setelah beberapa saat, Angga menghela napas berat. Meskipun hatinya masih dipenuhi amarah, ia memilih untuk mendengarkan. Mereka berbicara lebih lanjut dengan polisi sebelum akhirnya selesaikan masalah secara hukum.

Setelah keluar dari kantor polisi, Angga, Aletta dan Haikal pulang ke rumah. Angga memilih membayar denda untuk menghindari Haikal dipenjara. Namun masalah tidak selesai sampai di situ.

“Sial! Kampus gue udah tahu. Mungkin gue bakal di-DO,” kata Haikal dengan suara lirih. Penyesalan terpampang jelas di wajahnya.

Aletta duduk di sebelah Haikal, lalu bertanya lembut. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa lo bisa terlibat dalam hal seperti ini?”

Bintang Untuk FarelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang