34. Kepergian Revan dan Vani

3 0 0
                                    

Pagi itu terasa aneh. Matahari bersinar seperti biasa, tetapi suasana di kediaman Ghifari terasa berat.

Revan dan Vani bersiap-siap untuk berangkat liburan ke luar kota. Namun wajah Alea dan Alyssa dipenuhi kecemasan yang sulit mereka ungkapkan. Firasat buruk menghantui mereka.

Alyssa yang biasanya ceria, berdiri di depan pintu sambil menggigit bibir bawahnya. Sementara Alea tak berhenti meremas-remas tangannya. Mereka saling berpandangan, seakan berusaha mencari jawaban dari kegelisahan yang memenuhi hatinya.

Di ruang tamu, Revan sedang memeriksa barang-barang. Vani sibuk memastikan bahwa semua yang dibutuhkan telah dimasukkan ke dalam koper. Suasana rumah terasa hangat, tetapi kecemasan Alyssa dan Alea mulai menarik perhatian.

“Ayah, Mama, tolong ... Jangan pergi hari ini.” Suara Alyssa terdengar serak, matanya menatap dengan penuh permohonan.

Revan tersentak, menatap putri bungsunya dengan heran. “Kenapa, sayang? Ini kan hadiah dari Aa. Masa nggak jadi sih,” kata Revan.

Alyssa menggeleng pelan, air matanya mulai berkumpul di sudut mata. “Dedek nggak tahu tapi rasanya nggak enak, Ayah. Tolong jangan pergi,” ucap Alyssa kembali memohon.

Alea memeluk lengan Vani, matanya menatap Vani dengan berkaca-kaca. “Mama, jangan tinggalin kita. Ada yang nggak beres, aku takut.”

Vani menunduk, membelai rambut Alea dengan lembut. “Sayang, Mama dan Ayah cuma sebentar kok. Malam Senin udah pulang.”

“Dek, nggak usah cemas. Mama dan Ayah pasti baik-baik aja,” ujar Danial mencoba meredakan ketegangan.

Alyssa menatap kakaknya dengan tajam. “Aa, aku serius! Tolong dengerin kita,” pintanya.

Danial tersenyum meski ada sedikit keraguan di balik matanya. “Aa ngerti, Dek. Tapi nggak papa. Semua akan baik-baik aja, percaya deh.”

Meski berat, Alyssa dan Alea membiarkan kedua orangtuanya pergi. Revan dan Vani pun berangkat, meninggalkan rumah dengan kecupan di kening anak-anak mereka.

Setelah mobil Revan dan Vani pergi, suasana rumah terasa hampa. Alyssa dan Alea duduk di ruang tamu, saling merapat—meratapi kepergian orangtuanya. Danial menghela napas panjang, lalu duduk di samping Alea.

“Kalian berdoa aja ya. Semoga Mama dan Ayah sampai ditempat tujuan dengan selamat,” ujar Danial.

Alea dan Alyssa saling melempar tatapan, kemudian mereka bangkit dan mengambil tas sekolahnya.

Danial pun mengantar kedua adiknya ke sekolah sebelum ia berangkat kerja, sedangkan Aletta tak bisa datang karena harus mengikuti kegiatan organisasi di kampusnya.

**

Di dalam mobil, Revan dan Vani merasa ada sesuatu yang tak beres karena mobil melewati jalanan yang tak pernah mereka lalui.

“Pak, kenapa kita lewat jalan ini ya?” tanya Vani cemas.

“Biar nggak macet, Bu.”

Vani melirik Revan, sedangkan Revan mencoba menenangkan Vani agar tidak berpikir negatif.

Tiba-tiba mobil berhenti di tengah jalan, Revan menatap sopir melalui kaca mobil.

“Kenapa kita berhenti?” tanya Revan dengan nada waspada.

Sopir tak menjawab. Suasana semakin menegang saat seorang pria asing membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Wajahnya terlihat familier untuknya Revan.

“Kamu ...” Revan mencoba mengingat.

Pria itu tersenyum licik. “Saya Willy, orang yang selalu meneror Aletta.”

Seketika Revan terbelalak, rahangnya mengeras dan api kebencian berkobar di matanya. “Apa maksudmu?”

Willy tertawa kecil, senyumnya semakin mempertegas ancaman di balik kata-katabya. “Putri Anda berada dalam target saya.”

Revan tak bisa menahan amarahnya, ia mencengkeram kerah baju Willy—siap melayangkan tinju.

“Jauhi putriku! Kalau kamu berani macam-macam, aku akan melapor ke polisi!” ancam Revan.

“Bagaimana Anda melaporkan saya jika nyawa Anda akan berakhir hari ini?” tanyanya sambil tersenyum licik.

Tiba-tiba sopir menjalankan mobil dengan kecepatan tinggi. Revan mulai membaca ayat-ayat Al-Qur'an, memohon perlindungan Allah.

Vani memegang tangan Revan erat-erat, ketakutan mulai menguasai mereka. Jalan yang mereka lalui semakin liar hingga tiba-tiba sopir mengambil jalur yang berlawanan arah. Dari kejauhan, terlihat tronton melaju kencang ke arah mereka.

“Selamat tinggal,” ucap Willy dengan puas. Kemudian dia dan sopir melompat keluar dari mobil.

Revan dan Vani hanya punya waktu untuk saling berpelukan erat, berdoa dalam hati sebelum mobil mereka menabrak tronton dengan keras. Suara benturan memecah keheningan, membawa akhir yang tragis bagi pasangan itu.

**

Di kantor polisi, Dion sedang sibuk bekerja. Namun rekannya datang dengan wajah pucat, napas tersengal-sengal dan keringat bercucuran deras dari keningnya.

“Lo kenapa?” tanya Dion, merasa ada yang tak beres.

“Yon, gawat! Adek lo dan suaminya ... Mereka alami kecelakaan di jalan Anggrek,” ungkap rekan kerjanya. Napasnya masih tersengal-sengal.

Dion terdiam sejenak, menatap rekan kerjanya dengan mata berkaca-kaca. “Gimana keadaan mereka?” tanyanya.

Rekannya menggeleng pelan, suaranya hampir hilang. “Mereka ... Nggak selamat,” jawabnya.

Dion tercengang, rasanya seperti dunia runtuh di hadapannya. Air matanya langsung jatuh tanpa bisa ditahan, ia segera meraih ponselnya—mencoba menghubungi Danial. Namun telepon itu tak tersambung.
Dion juga mencoba menelepon Aletta, tapi hasilnya sama. Tanpa pikir panjang, Dion berlari keluar dari kantor polisi—menyalakan mobilnya dan melaju menuju kantor Danial.

Sesampainya di sana, Dion langsung menerobos masuk meskipun satpam berusaha mencegah. Dion berjalan menuju ruang kerja Danial, kemudian membuka pintu ruangan itu.

“Loh, om kenapa ke kantor Rino?” tanya Danial heran.

“Mama dan Ayah ... Mereka udah nggak ada, Dan,” ucap Dion. Suaranya terdengar serak.

Seketika wajah Danial memucat. Tanpa sepatah kata pun, ia langsung berlari meninggalkan kantornya. Hatinya berdegup kencang, tangannya gemetar hebat. Dengan panik, ia bergegas menuju kampus Aletta karena tak tahu bagaimana cara menyampaikan kabar ini jika menghubungi lewat telepon.

Bintang Untuk FarelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang