35. Kesedihan Aletta

1 0 0
                                    

Sesampainya di rumah sakit, suasana sunyi yang mencekam menyelimuti setiap langkah Aletta, Danial, Alyssa dan Alea yang berjalan tergesa-gesa menuju ruang jenazah. Napas mereka terengah-engah, bukan karena lelah. Melainkan karena takut dan kesedihan yang terus menghantui.

Dion yang lebih tenang, berbicara dengan staff rumah sakit di depan ruang mayat untuk mengindetifikasi identitas Revan dan Vani.

Di dalam ruangan yang dingin dan gelap, Aletta menggenggam erat kain putih hangat menutupi tubuh Vani. Dengan tangan gemetar, ia perlahan menyingkapnya. Seketika air mata yang sudah tertahan sejak tadi langsung mengalir deras kala melihat wajah pucat Mamanya yang dipenuhi luka akibat kecelakaan tragis itu.

“Mama ...” isaknya lirih. Aletta langsung menunduk, memeluk tubuh Mamanya yang kini sudah tak lagi bernyawa. “Mama, bangun! Tolong bangun ...” katanya dengan nada memohon. Tangisnya pecah dan menggema di ruangan tersebut.

Danial berdiri di samping Aletta, mencoba menenangkan diri. Namun detik-detik berikutnya adalah saat paling berat baginya. Dengan tangan bergetar, dia menyingkap kain putih yang menutup jenazah yang diduga Revan. Seluruh tubuh Danial mendadak lemas saat melihat tubuh Ayahnya yang terbujur kaku. Dia tak mampu berkata apa pun, hanya air mata yang terus mengalir di pipinya.

Sementara itu, Alyssa dan Alea yang berdiri di belakang Danial langsung menjerit histeris saat mengetahui kondisi Revan. Mereka berlari menuju tubuh Ayahnya, lalu menggoyangkan tubuh Revan seolah memintanya untuk bangun.

“Bangun, Yah! Tolong jangan tinggalin kita!” teriak Alyssa sambil mengguncang-guncang tubuh Revan, sementara Alea memeluknya erat, tangisnya tak bisa dibendung.

Dion yang baru memasuki kamar jenazah, hanya bisa meratapi keempat keponakannya yang tengah menangis tersedu-sedu. Ia melangkah mendekati Aletta yang masih memeluk tubuh Mamanya.

“Maafin kakak, Van,” bisik Dion dengan suara serak. Ia mengusap rambut Vani yang sudah kaku, air matanya jatuh perlahan ke pipinya.

“Harusnya kakak yang antar kalian. Kakak janji akan cari pelakunya dan mereka nggak mungkin bisa kabur dari kejaran kakak!” sumpah Dion.

Aletta yang mendengar perkataan Dion, menatap pamannya dengan penuh tanda tanya.

“Maksudnya kecelakaan Mama dan Ayah disengaja?” Aletta bertanya dengan suara bergetar.

Dion mengangguk pelan. “Menurut rekaman CCTV di jalan Anggrek, mobil yang mereka tumpangi pindah jalur mendadak hingga menabrak truk besar. Sebelum kecelakaan ada dua orang yang melompat keluar dari mobil, lalu masuk ke mobil lain.”

Danial yang mendengar penjelasan dari Dion langsung mengepalkan tangan dengan kuat, rahangnya mengeras, dan giginya bergemeletuk.

“Ini pasti ulah Willy,” ucap Danial dengan penuh amarah.

“Kenapa Mama dan Ayah yang jadi korbannya?” tanya Aletta. Suaranya terdengar serak.

Danial menatap Aletta tajam. “Karena lo,” jawabnya dingin.

Aletta tertegun. Matanya melebar, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Sementara Alyssa dan Alea langsung memandangnya dengan tatapan penuh kebencian.

“Ini semua gara-gara teteh! Kenapa sih teteh harus nikah sama Kak Angga? Dari awal Kak Angga selalu bawa masalah, sekarang kita harus kehilangan Mama dan Ayah cuma gara-gara konflik keluarganya Kak Angga!” teriak Alyssa. Suaranya bergetar karena kemarahan.

“Benar!” sambung Alea. “Teteh egois! Selalu diprioritaskan sama Mama dan Ayah tapi nggak pernah mikirin perasaan orang lain!”

Aletta terpaku, hatinya hancur mendengar tuduhan dari kedua adiknya. “Kalian pikir gue mau ini terjadi?” tanyanya. Suara Aletta hampir tak terdengar.

“Kalau lo nggak nikah sama Angga, semua ini nggak akan terjadi!” teriak Danial. Suaranya menggelegar di ruangan sempit itu.

Tangisan Aletta kembali pecah, ia merasa dadanya sesak mendengar teriakan Danial. Dia berusaha menetralkan pernapasannya, tetapi air mata terus jatuh tanpa henti.

“Kalian pikir gue nggak kehilangan? Gue juga kehilangan orang yang gue cinta! Satu lagi, kata siapa gue selalu diprioritaskan? Ayah lebih sayang sama lo, Dan! Karena lo anak laki-laki yang selalu diandalkan. Sedangkan gue? Gue cuma beban!” pekik Aletta. Namun suaranya tersendat.

Danial menatapnya tajam. “Ya, lo emang beban. Dari dulu lo selalu bikin repot Mama dan Ayah. Tapi lo nggak pernah tahu diri dan selalu merasa si paling tersakiti,” cibirnya.

Aletta memalingkan wajah, mencoba menahan sakit di hatinya. “Ternyata ini isi hati lo,” katanya pelan dengan bibir yang bergetar.

“Cukup!” seru Dion. “Keributan kalian bisa bikin Mama dan Ayah menangis di sana! Kalian mau mereka sedih karena kalian saling menyalahkan?”

Ruangan itu tiba-tiba hening, hanya isak tangis yang terdengar. Danial, Alyssa dan Alea melangkah keluar—meninggalkan Aletta yang berusaha menguatkan dirinya.

Setelah merasa lebih tenang, Aletta menghubungi Angga—memintanya untuk datang ke rumah dan memberitahukan kabar duka ini kepada seluruh keluarga mereka.

**

Di kediaman keluarga Ghifari, para tetangga dan kerabat sudah berkumpul. Aletta dan Angga duduk bersebelahan. Angga merangkul Aletta yang bersandar di pundaknya.
Tangis Aletta tak berhenti sejak tiba di rumah, sementara Danial merangkul kedua adiknya masih menangis tersedu. Semua orang yang hadir berusaha memberikan dukungan, tapi tak satu pun berani berkomentar tentang kematian Revan dan Vani karena segan oleh Danial.

Surat Yasin dibacakan hingga siang menjelang, kemudian jenazah dibawa ke masjid untuk disalatkan. Aletta hanya mampu berdiri di luar masjid, tubuh gemetar dan terasa lemas.

“Kalau nggak kuat mending istirahat di rumah aja, Ta,” ujar Melly lembut.

Aletta menggeleng, air matanya kembali mengalir. “Nggak, gue harus lihat Mama dan Ayah untuk terakhir kalinya,” tutur Aletta.

Setelah selesai, mereka semua berjalan menuju tempat pemakaman. Langkah Aletta terasa berat, seakan kakinya tak lagi kuat menopang beban kesedihan yang menderanya. Angga dan beberapa orang lainnya membantu mengangkat keranda, sedangkan Aletta hanya bisa mengiringi dari belakang.

“Selamat tinggal, Ma, Yah ... Tunggu aku, Danial, dan adik-adik di surga ya,” batin Aletta dengan getir.

Tangisnya pecah di pelukan Melly, sedangkan Melly terus mengusap kepala Aletta yang kini ditutup hijab, mencoba menenangkan sahabatnya.

Bintang Untuk FarelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang