"Terima kasih banyak Pak, sudah membiarkan kami tinggal di sini untuk sementara."
"Itu bukan apa-apa. Kehadiran kalian justru sangat membantu saya, padahal kalian bisa saja tinggal di sini lebih lama bersama saya dan Riki."
Hongjoong menggeleng dengan lembut, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Kami sangat menghargai tawaran itu. Tapi kami merasa lebih baik mencari tempat tinggal sendiri. Kami tak ingin terlalu merepotkan."
Pak Darman mengangguk mengerti, meski raut wajahnya sedikit sedih. "Semoga kalian bisa segera menemukan jalan pulang."
Pagi itu, delapan pemuda tersebut memutuskan untuk pergi mencari tempat tinggal baru. Tak ada yang mereka bawa selain pakaian yang melekat di badan, karena memang tidak ada apa pun yang bisa dibawa. Dunia ini masih asing, hanya diri mereka sendiri yang bisa diandalkan.
Pak Darman berdiri di depan rumahnya, memandang taman kecil di samping rumah, di mana sayuran segar tumbuh subur. Ia menoleh pada Yunho yang tak jauh dari sana. "Terima kasih untuk bantuanmu di kebun itu. Tanaman-tanaman ini tumbuh lebih subur berkatmu."
Yunho tersenyum hangat, sedikit membungkuk sebagai tanda terima kasih. "Sama-sama, Pak."
"Kalau begitu kami mohon pamit dulu, Pak. Terima kasih banyak untuk segalanya. Kami tak akan melupakan kebaikan Anda."
Pak Darman tersenyum, lalu menepuk bahu Hongjoong dengan lembut. "Semoga perjalanan kalian lancar. Ingat, kalian selalu diterima di sini kapan pun kalian butuh tempat berlindung."
Riki yang sudah bersiap dengan ransel di punggungnya, tampak tak sabar. Meski alasannya bergabung dengan mereka sempat diperdebatkan, dia akhirnya diizinkan oleh kakeknya dengan alasan ingin menuntun mereka di perjalanan nanti.
Setelah berpamitan, mereka mulai meninggalkan tempat yang selama dua minggu terakhir menjadi rumah sementara. Tudung jubah mereka dikenakan untuk melindungi dari embusan angin dingin pegunungan.
Para submisif berada di depan, sementara para dominan mengikuti dari belakang. Langkah mereka hati-hati, terutama yang di depan yang harus berhati-hati mengangkat baju panjang mereka agar tak tersangkut semak-semak liar.
Mingi yang berada di belakang, memperhatikannya dengan senyum geli. "Lucu sekali," gumamnya saat melihat mereka yang kerepotan mengangkat-ngangkat bajunya.
San yang berada di sebelahnya menoleh dengan alis terangkat. "Apa yang lucu?"
Mingi menggeleng, menahan tawa yang nyaris keluar. "Mereka terlihat kerepotan dengan jubah-jubah itu."
San mendengus, tapi tak bisa menahan senyum simpul yang akhirnya muncul di bibirnya. "Mereka hanya ingin tetap bersih."
Di depan, Wooyoung mendengar tawa dari belakang dan menoleh dengan mata menyipit. "Apa yang kau tertawakan?"
Mingi mengangkat tangan dengan cepat, berusaha menepis kesalahpahaman. "Tidak ada, tidak ada apa-apa kok."
Hembusan angin lembut menggoyangkan dedaunan di sekitar mereka, menambah ketenangan dalam perjalanan panjang yang baru saja dimulai.
•••✦•••
Setelah dua jam perjalanan, akhirnya sembilan orang itu tiba di permukiman warga.
Suasana desa tampak hidup, dengan warga yang sibuk menjalankan aktivitas mereka masing-masing. Di sudut-sudut jalan terlihat anak-anak berlarian, tertawa dan bermain dengan riang. Mereka berkejaran di sepanjang jalan tanah yang terhampar di antara rumah-rumah yang berjajar rapi.
Di sisi jalan, tampak deretan rumah kuno yang dibangun dari batu bata yang kokoh. Atap rumah-rumah itu terbuat dari jerami tebal menyerupai bangunan tradisional Korea pada masa lampau. Beberapa warga tampak sedang menjemur hasil panen di depan rumah mereka, sementara yang lain sibuk dengan pekerjaan tangan masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
URBAN ARCANA [ Ateez BXB ]
TerrorDi kota yang penuh dengan kejanggalan, delapan jiwa terpilih berkumpul, masing-masing menguasai elemen yang memancar dalam kegelapan. Di antara bayang-bayang, mereka mencari harapan, bertarung melawan takdir yang tak terlihat dalam labirin yang meme...