Bagian 10

730 116 2
                                    

¤¤¤Nemu typo tandain ya!¤¤¤

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

¤¤¤
Nemu typo tandain ya!
¤¤¤

Pukul setengah delapan malam ialah waktunya makan malam. Auriga berjalan pelan menuju ruang makan, namun beberapa detik berikutnya anak itu terdorong kecil kedepan. Hal itu akibat Hugo yang lewat dan sengaja menabrakan tubuhnya dengan sang adik tiri.

Auriga hanya bisa menghembuskan nafas kasar menahan jengkel.

Mereka berdua duduk di kursi masing-masing. Menikmati hidangan yang di sajikan malam ini. Tak ada suara dari keduanya kecuali suara sendok dan garpu.

Sebenarnya Auriga tak benar-benar bisa menikmati semua makanan yang ada. Soalnya kebanyakan menu malam ini makanan pedas, Auriga tak begitu bisa memakan makanan bercabai itu.

Jadi anak itu hanya makan yang terlihat cocok untuknya saja.

Tak lama Hugo selesai lebih dulu, remaja itu langsung bergegas bangun. Meninggalkan ruang makan dan berjalan keluar rumah, mungkin ingin berkumpul dengan teman-temannya.

Sedangan di ruang makan tersisa Auriga, serta beberapa pekerja yang mulai membereskan meja makan. Auriga cukup bingung melihat itu, pasalnya dirinya masih duduk disana. Biasanya kan di bereskan saat semua selesai makan.

Namun sekian detik berikutnya Auriga paham, dari tatapan para pekerja. Anak itu tau tak ada yang menyukainya, yang ingin mereka layani hanya pemilik asli rumah ini.

Tak apa, Auriga cukup tahu diri.

Dirinya juga sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini.

Untuk kesekian kalinya ia di tolak, tapi mental Auriga sudah terlatih. Jadi bukan masalah yang besar untuknya, meski sedikit sakit hati tapi tidak apa-apa.

•••

Keesokan paginya Hugo dan Auriga berangkat seperti kesepakatan. Hugo dengan mobil mahalnya dan Auriga dengan supir yang sudah dipekerjakan oleh ayah tirinya.

"Terima kasih Pak" Auriga berseru sebelum dirinya benar-benar turun dari mobil. Supir tentu membalas dengan anggukan dan senyum ramahnya. Mungkin hanya supir baru ini yang tidak bersikap dua muka pada Auriga, sebab tatapan dan ucapannya terlihat tulus.

Auriga berjalan pelan menuju kelas, suasana pagi ini sedikit mendung. Mungkin hari ini akan turun hujan, atau tidak akan panas hingga menjelang malam nanti.

Ruang kelas masih cukup sepi, hanya beberapa saja yang baru tiba. Auriga mendudukan tubuhnya di kursi miliknya.

Getaran pada ponselnya membuat Auriga mengeluarkan benda itu dari saku celananya.

AURIGA [END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang