"Kau bercanda, kan?!" Seruan itu meluncur dari mulut Andre tanpa dia sadari. Dia terbangun di kamar yang tidak pernah dia kenal, tetapi langsung memancarkan kemewahan dari segala sudutnya.
Langit-langitnya tinggi, dilapisi ukiran emas yang elegan. Tempat tidurnya besar, lebih besar dari apartemen studio yang biasa dia sewa. Seprei sutra halus melingkupi tubuhnya yang terasa aneh—lebih berat, lebih berotot, dan... lebih mewah? Dia menatap ke bawah, menemukan dirinya mengenakan piyama sutra yang mahal, bukan kaos kusut yang biasa dia pakai saat tidur.
"Di mana ini?" bisiknya sambil mengusap wajahnya. Pemandangan dari jendela memperlihatkan pemandangan kota metropolitan dari ketinggian. Bangunan pencakar langit dan hiruk-pikuk kota yang sibuk terbentang di hadapannya.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka pelan, dan seorang pria paruh baya berpakaian jas hitam dengan wajah yang tampak serius masuk ke dalam. Dia membawa nampan berisi teh dan sarapan lengkap.
"Selamat pagi, Tuan Andre. Apa Anda sudah siap untuk hari ini?" Pria itu berbicara dengan nada hormat yang tidak pernah Andre dengar sebelumnya. Siapa pria ini? Dan kenapa dia memanggil Andre dengan sebutan 'Tuan'?
Andre bangkit dengan kaget.
"Siapa kau? Dan di mana aku?!"
Pria itu tampak kebingungan, tapi tetap tenang.
"Saya Hugo, kepala pelayan Anda. Anda berada di rumah utama keluarga Anda, Tuan. Ini kamar Anda."
Andre berkedip.
"Rumah? Keluarga? Apa maksudmu?"
Dia berusaha mengingat-ingat, tapi yang muncul dalam pikirannya hanyalah ingatan bahwa dia adalah Andre, seorang pria biasa yang berjuang untuk hidup di kota besar dengan gaji minim. Tidak ada yang namanya rumah megah atau pelayan pribadi dalam hidupnya.
Namun, saat Andre berjalan ke cermin besar di sudut ruangan, yang dilihatnya membuat jantungnya berhenti sejenak. Wajah yang menatap balik dari cermin itu... Itu wajahnya, tapi sedikit berbeda—lebih muda, lebih tampan, dan terlihat lebih kaya. Ini benar-benar bukan dirinya yang dulu. "Apa ini mimpi?"
Hugo, yang masih menunggu dengan tenang, tampaknya mulai khawatir.
"Tuan Andre, apakah Anda merasa tidak enak badan? Saya bisa memanggil dokter pribadi Anda."
"Tidak, tidak," Andre menggeleng cepat, berusaha menyerap semua ini. "Aku cuma... butuh waktu sebentar."
Dia kembali duduk di tempat tidur, memandangi tangannya. Apa yang sebenarnya terjadi? Ini pasti mimpi aneh yang akan segera berakhir. Tapi ketika tangannya menyentuh sutra halus, begitu nyata dan meyakinkan, dia mulai mempertanyakan segala sesuatu.
"Apa hari ini ada yang perlu aku lakukan?" tanya Andre akhirnya, mencoba menghindari kecurigaan Hugo.
"Ya, Tuan," jawab Hugo dengan nada profesional. "Hari ini Anda memiliki jadwal pertemuan dengan direktur perusahaan. Mereka menunggu keputusan Anda tentang proyek amal besar yang akan Anda danai. Kemudian, ada acara makan siang dengan beberapa kolega bisnis di restoran eksklusif, dan di malam hari, Anda dijadwalkan menghadiri lelang amal untuk mendukung seni dan budaya lokal."
Andre mengerutkan kening. Amal? Bisnis? Lelang? Dia tidak pernah berurusan dengan hal-hal semacam ini. "Katakan padaku, Hugo... Siapa sebenarnya aku di sini?"
Hugo menatapnya dengan ekspresi penuh pertanyaan sebelum berkata, "Anda adalah pewaris tunggal keluarga Hartono, salah satu keluarga terkaya dan paling berpengaruh di negeri ini, Tuan. Anda mengelola perusahaan besar, dan keluarga Anda terkenal karena kontribusinya di bidang amal dan seni."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Graceful Heir
Teen FictionSeorang pria muda dari keluarga biasa tiba-tiba transmigrasi menjadi pewaris tunggal. "Seperti di film-film?" "Mungkin tidak sejauh itu, tapi bisa jadi, iya" "Wah, selamat datang di dunia nyata!" "Masih mau piknik lagi?"