18| Mulai Tertarik?

1.4K 198 54
                                    

     "Sabtu kelompok ya."

     "HAHHH? YANG BENAR AJA."

    Ketiganya melirik ke arah Aresh yang tampak panik setelah Harmonie berucap seperti itu. "Gue gabisa."

    Bumi meliriknya. "Kenapa gabisa? Tugas kita udah mepet."
    
     "Lah gue kira udah selesai, kalau gitu kenapa gak ngomong aja. Biar gue selesaiin kemarin-kemarin di rumah."

     "Kenapa gabisa?" Kini giliran Harmonie yang bertanya. "Gue mau ke Jakarta," jawab Aresh lesu.

     "Penting banget?"

     Helaan nafas Aresh terdengar, menyender ke tembok kelas seraya menatap ketiga sahabatnya yang kini balik menatap juga, mereka tampak menahan tawa melihat wajah masamnya. Tau, kalau weekend Aresh akan menyempatkan untuk pergi ke Jakarta menemui Avisha.

     "Mau nemuin cewek gue," ucap Aresh pelan, yang hanya terdengar oleh Harmonie karena berada di sampingnya.

     Mulut Harmonie membulat, mengangguk paham saat tau ternyata Aresh dan ceweknya LDR. Pantas saja, cowok itu masih suka cari perhatian ke gadis lain, ternyata pacarnya tidak di Semarang. Jauh di sana, tanpa tau sifat asli Aresh di sini.

     Ya, meski beberapa kali Harmonie sempat melihat Aresh video call di kelas dengan ceweknya. Tapi, cowok itu tetap saja terlihat play boy. Seperti plin plan akan perasaannya sendiri.

     "Gabisa hari ini pulang sekolah?"

     Aulia menggeleng, "Gue gabisa Resh, Bumi juga gabisa."

     Aresh berdecak kesal, mengacak rambutnya frustasi. "Lo bertiga makalahnya udah belum, sih?"

     Galen menggeleng, begitupun dengan Reo dan Jaka. "Belum ngerjain sama sekali kelompok kita malahan, hehe."

     "Stres banget anying."

     Jujur, Harmonie paham perasaan Aresh sekarang. Mungkin saja keduanya saling merindukan karena terbatas oleh jarak yang memisah. Hanya saja, tugas mereka lebih penting, demi nilai daripada percintaan gajelas yang tidak tau ujungnya akan jadi apa.

    "Gimana?" Harmonie memastikan lagi.

   Aresh menatap memelas. "Iya, gue ikut besok."

    Pada akhirnya, Aresh membatalkan semua jadwal dengan Avisha dan lebih memilih mengutamakan tugas kelompoknya, karena sebelumnya memang Kak Lavanya sudah menyuruh untuk Aresh fokus sekolah dan perbaiki nilai perlahan-lahan. Dia tidak bisa terus bermain-main jika ingin punya masa depan cerah.

    "Oke, di kafe yang waktu itu aja, ya."

***

Aresh: kak maaf ya Minggu ini Aresh gabisa ke Jakarta karena banyak tugas sekolah

Avisha: eum, lagi sibuk banget?

Aresh: iya kak, besok kerja kelompok lagi. padahal aresh kangen banget sama kakak, pengin ketemu

Avisha: iya gapapa Resh, fokus sekolah aja dulu

Aresh: lo gak marah kan, kak?

Avisha: enggak, lagi pula Semarang Jakarta gak sedekat itu. gapapa, gue ngertiin

Aresh: makasih kakkk, love you

Avisha: love u too

     Helaan nafas lega terdengar, saat balasan Avisha berhasil menenangkan hati Aresh. Tadinya dia sempat berpikir Avisha akan marah, karena merasa waktu untuknya berkurang. Namun ternyata, dia bisa mengerti kesibukan Aresh sebagai kelas sepuluh SMA.

     Kalau boleh jujur, memang cukup melelahkan kalau harus bolak-balik Semarang Jakarta, tapi Avisha menjadi alasan utamanya dia rela. Meski sering kali ditanya oleh Ayah, terlebih, pengeluaran uangnya tidak sedikit.

      Terkadang Aresh merasa, tujuannya apa ya di ke depannya nanti? Apa Avisha akan selalu menjadi tujuannya?

      Memikirkan itu, membuat kepala Aresh pusing. Dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, mulai mencoba untuk memejamkan mata. Herannya, wajah seseorang terlintas di pikirannya.

      "Kok gue mikirin tuh cewek?" Aresh menggelengkan kepala. "Amit-amit."

***

      Seharusnya weekend digunakan untuk pergi berlibur bersama keluarga, atau orang yang dicinta. Tapi, tidak berlaku pada Aresh, di mana jam 9 pagi sudah harus pergi ke kafe untuk mengerjakan tugas makalah. Kesal, pasalnya dia mengendarai motor sambil menahan rasa kantuk.

      Bahkan, dari jam 5 subuh Harmonie sudah membangunkannya, dengan menspam telfon beberapa kali, agar Aresh tidak terlambat. Padahal, mereka janjian jam 9 pagi di kafe.

      Jika sudah begini, pusing menyerang kepalanya karena tidurnya terganggu.

      Di sana, Harmonie sudah duduk anteng menunggu teman-temannya. Dia hanya sendiri, seraya fokus pada ponsel dalam genggaman.

      "Yang lain mana?" tanya Aresh, ikut duduk di samping Harmonie.

      Kali ini, Aresh benar-benar dibuat salah fokus, melihat penampilan Harmonie tampak berbeda. Tidak, hanya rambutnya saja, dibiarkan tergerai indah. Jarang sekali penampilan itu dia lihat. Harmonie jadi terlihat... manis?

      "Belum sampai, telat kayaknya."

      Mendengar itu Aresh mendengus kesal. Padahal dia sudah mengusahakan datang tepat waktu, tapi lihat? Bumi dan Aulia malahan belum terlihat batang hidungnya. Menyebalkan.

      "Yaudah, kita kerjain aja dulu sambil nunggu mereka. Daripada buang-buang waktu."

      Kali ini Harmonie mengangguk setuju, mengeluarkan laptop miliknya dari tempat. Mulai menyalakan untuk membuka word demi melanjutkan makalah kelompok mereka.

      "Jadi kurang apa?" Aresh menatap Harmonie serius. "Bab 3, dikit lagi sih. Sama daftar isi, halaman, daftar pustaka belum."

      Aresh mengangguk mengerti, lebih mendekatkan kursi miliknya, agar terlihat jelas tulisan di layar laptop. "Gue bantuin."

       15 menit berlalu, keduanya sibuk mengerjakan makalah dengan serius. Saling memberi pendapat dan saran, sampai lupa bahwa kedua teman yang sedari tadi ditunggu-tunggu tak kunjung datang.

      "Udah selesai?"

      "Udah, makasih Resh."

      Aresh mengangguk. "Tai mereka berdua gak dateng." Aresh menggerutu kesal. "Kita kurang PPT kan? Biarin Bumi sama Aulia aja yang kerjain, gue mah udah ogah."

       "Iya nanti gue suruh mereka berdua kerjain. Mau balik aja gue."

       Tangan Harmonie ditahan oleh Aresh saat hendak berdiri dari kursi kafe. "Mau kemana?"

        "Mau pulang, ke mana lagi?"

        Sebelah alis Aresh terangkat. "Lo weekend gini gak kemana-mana?"

        Dengan cepat Harmonie menggeleng. "Enggak, lebih baik gue nonton di dalam kamar."

        "Mau jalan?" ajak Aresh.

        "Hah?" Harmonie menggeleng. "Enggak, gue ngehargain perasaan cewek lo sekarang. Sorry."

        Setelah berucap seperti itu, Harmonie pergi meninggalkan area kafe dengan taksi, membiarkan Aresh terdiam di tempat dengan perasaan anehnya. Saking anehnya, rasanya tidak mungkin menyimpan dua nama dalam satu hati.

        Itu terdengar aneh.

        Dengan segera, Aresh menepis isi pikirannya. Harmonie hanya bendahara resek, yang mana interaksi mereka sekedar menagih uang kas. Tidak lebih.

        "Ternyata yang sulit ditaklukkan emang lebih menarik."

***

:(

ak udah gatau harus gimana buat nulis wp, rasanya udah gada semangat. kaya gada nyawa lg di sini, maaf

 
    

TREASURER | ARESHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang