14| Satu Kelompok

1.8K 168 73
                                    

    "Oke anak-anak. Hari ini Ibu akan membagikan anggota kelompok untuk tugas Minggu depan. Tiap anggota terdiri dari 4 orang, akan Ibu pilihkan acak."

     "Sekretaris mohon dicatat," lanjut Bu Zaenab—guru IPA yang mengajar materi Biologi.

     Bu Zaenab membacakan satu persatu murid kelas 10 IPA 2 secara acak. "Gloria, Jaka, Adam, dan Sinta."

     "Reo, Galen, Kalista, dan Sofia."

     "Harmonie, Aresh, Bumi, Aulia."

     Mata Aresh langsung terbuka lebar saat namanya disebut bersama dengan Harmonie. Tidak ekspek kalau dia akan satu kelompok dengan gadis itu.

     "Tugas buat Minggu depan kalian buat makalah tentang Virus, yang akan dipresentasikan selasa depan. Akan Ibu pilih acak kelompok yang maju, jadi Ibu harap kalian semua mempersiapkan tugas yang sudah Ibu berikan, paham?"

     "Pahamm Buuu."

     Aresh tidak masalah dengan tugas yang guru berikan. Hanya saja dia tidak terima kalau harus disatukan dengan Harmonie di saat masih ada banyak pilihan lain. Kenapa dia harus satu kelompok dengan gadis itu? Yang mana Aresh yakin, akan lebih banyak cekcok-nya.

      Harmonie mengangkat tangannya. "Ya Harmonie?"

      "Maaf Bu, apa kelompoknya masih bisa diganti? Saya keberatan kalau harus satu kelompok dengan Aresh."

      Mendengar ucapan itu, reflek Aresh mengepalkan tangannya emosi, menatap tajam ke arah Harmonie. "Saya juga keberatan Bu," sahut Aresh.

       Bu Zaenab membenarkan letak kacamatanya, menatap kedua muridnya yang tampak tidak akur. "Oke baik, saran didengar. Selamat satu kelompok yaa..."

      "Lahhh?" Jaka cengo.

***
     
      "Kas."

      Tiap Minggu, Harmonie hanya akan menghampiri Aresh untuk menagih uang kas. Namun jawaban Aresh masih sama, "Gak."

      "Kas."

      "Males."

      "Kas 20 ribu sekalian Selasa kemarin. Nunggak, kena bunga."

      "Gak nanya."

      PLAK! Harmonie sudah tidak kuat menahan emosinya sedari tadi, sampai akhirnya buku catatan uang kas berhasil melayang ke wajah Aresh hingga hidung cowok itu memerah nyeri. "Apa-apaan, sih?"

      Seluruh perhatian tertuju pada keduanya yang kini kembali cekcok perkara Aresh tidak mau mengeluarkan uang sepeser pun untuk kas. Pemandangan seperti ini, mungkin akan menjadi tontonan sehari-hari mereka.

     "Gue udah muak banget ya sama lo. Lo pikir gak capek jadi bendahara? Yang lain aja pada bayar, kenapa lo gak? Miskin?"

      "Mau miskin mau kaya, bukan urusan lo."

      Pertemuan mereka memang tidak baik sejak awal. Entah alasan apa, namun Aresh benar-benar enggan membayar uang kas. Sepertinya dia memang sengaja membuat Harmonie emosi. Padahal ketiga sahabatnya rajin membayar kas, meski dengan sedikit terpaksa karena 10 ribu bisa buat ngebakso.

     "Arghh, terserah lo aja deh, tai!"

     Harmonie menghentakkan kakinya kesal, mengambil buku catatan kasnya yang jatuh ke lantai lalu pergi keluar kelas dengan wajah masam.

      "Kasihan loh Resh anak orang lo gituin," ujar Jaka.

      "Benar. Gue sebagai calon pacarnya, gak terima ayang diginiin." Reo dramatis.

TREASURER | ARESHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang