09| Hari Pertama Bayar Kas

2.4K 203 52
                                    

     "Ibu pulangg."

     Harmonie segera membuka pintu saat Ibunya baru saja pulang tepat pukul 9 malam. Dia menghambur ke pelukan Serina—Ibunya.

     "Ibuu, kenapa malam sekali pulangnya?" Harmonie khawatir, Ibu pasti kecapean bekerja terlalu keras demi kehidupannya tercukupi.

     Serina mengusap puncak kepala putrinya, mengajak Harmonie untuk duduk di sofa setelah mengunci rapat pintu rumah. "Maaf ya sayang, hari ini tugas Ibu bertambah di Rumah sakit."

     "Gapapa Bu, Harmonie cuman khawatir Ibu sakit karena terlalu bekerja keras."

      "Udah kewajiban Ibu." Serina tersenyum. "Oh iya, tadi siang kamu pulangnya naik taxi, kan?"

       Diam, Harmonie pun tak pandai berbohong jika sudah berhadapan dengan Ibunya.

       "Ibu sudah bilang ke kamu Harmonie. Kamu gak perlu cemas mikirin biaya kuliah kamu, karena itu urusan Ibu. Keluarga kita masih mampu, jangan terlalu berhemat seperti itu. Ibu cuman gamau, kamu merasa tertekan."

      "Iya Ibu, Harmonie minta maaf. Harmonie cuman gamau terus-terusan ngebebanin Ibu."

      "Sekalipun kamu gapernah jadi beban buat Ibu. Udah jadi kewajiban sebagai orang tua untuk menyekolahkan anak sampai ke pendidikan tertinggi mereka."

      Serina mengusap puncak kepala Harmonie, wanita itu berdiri dari sofa yang sejenak dia duduki. "Yaudah kamu istirahat ya, Ibu juga mau beres-beres dulu."

      Melihat Ibu pergi ke kamar dengan wajah lesu, hati kecil Harmonie tergores. Kedua tangannya terkepal kuat menahan emosi yang selama ini hanya bisa dia pendam. Semua ini karena Pradipta, lelaki yang kini tengah mendekam di penjara karena kasus KDRT dan narkoba. Beruntungnya, Harmonie bisa menjebloskan Ayahnya ke dalam penjara, sebelum Ibu semakin tersiksa mempunyai suami seperti itu.

     Kalau Ayah tidak mabuk-mabukan, tidak narkoba, tidak terus-terusan menyusahkan Ibu dengan hampir menguras habis harta Serina. Mungkin kehidupan mereka akan jauh lebih baik seperti dulu, tidak seadanya seperti ini.

      Harmonie benci Ayahnya, pembalasannya belum selesai. Selain, melihat dia jauh lebih menderita seperti yang dia lakukan ke Serina. Tidak ada perasaan simpati untuk lelaki seperti Ayah. Harmonie membencinya dan akan selamanya begitu.

      Memutuskan untuk kembali ke kamar, Harmonie melirik ponselnya. Dia masih memikirkan pesan dari nomor asing yang ditujukan padanya. Rasanya tidak mungkin jika Regan kembali, di saat sudah berbulan-bulan lamanya sejak cowok itu lulus dan pergi keluar kota ikut dinas Ayahnya.

       Berat bagi Harmonie bisa melewati masa suramnya, sampai-sampai sudah berpindah rumah 4 kali untuk bisa hidup tenang.

        Ayah dan Regan... adalah beban sesungguhnya dari jatuh miskin.

***

       Aresh baru saja selesai mandi, mengeringkan rambut yang baru saja dia kramasin.

       "Kata Bibi, kamu kehujanan?" tanya Mahendra—Ayah Aresh.

       "Iya Yah."

       Mahendra menatapnya bingung. "Kenapa gak nunggu reda aja?"

       "Gapapa, Aresh juga pakai jas hujan biru yang dikasih Kakak. Cuman emang hujannya lagi deras aja, jadi tetap basah."

       Dengan alasan itu, Mahendra hanya mengangguk mengiyakan. "Gimana sekolah kamu?"

       "Aman aja Ayah."

TREASURER | ARESHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang