" I'm back". Ucapku. Meneliti lingkungan tempatku berada. SHS tempatnya menuntut ilmu.
Ya aku kini kembali bersekolah ditemani makhluk tampan yang memegang erat pergelangan tanganku.
Dia seolah takut jika aku tiba-tiba menghilang seperti beberapa waktu lalu. Yah kurasa sikapnya berubah menjadi lebih protektif dari terakhir kali.
" Anything bothering you, hm darling?". Ucapnya memandang lurus ke arahku.
" Nothing". Selene menggeleng, dia baik-baik saja.
" Great. Let's go". Ajaknya.
Keduanya berjalan beriringan menikmati waktu pagi mereka bersama. Sean dan Selene berangkat bersama untuk pertama kali dan mungkin untuk seterusnya.
Semua ini berkat grandpa Ed yang kukuh membiarkan mereka tinggal bersama. Orang-orang Asia mungkin berpikir itu tak sopan, melanggar aturan ataupun tabu untuk dilakukan. Tapi ayolah ini barat jadi meski tak memiliki hubungan resmi hal ini legal.
" Sebaiknya kalian tinggal bersama". Ucap sang tetua. Bersamaan dengan dia mengakhiri sarapannya. Hanya ada mereka bertiga disini, kakek Sean mengusir semua pelayan yang bersama mereka.
" I agree". Ucap Sean mengelap mulutnya dengan serbet. Dia menggeser kursinya mendekat pada gadisnya. Bersiap memberikan darahnya.
" I'm not human. My situation may endanger everyone. So please stop dictating to us". Selene menatap angkuh pada lelaki tua itu. Dia mencengkram tangan Sean, mulutnya terbuka bersiap menggigit.
Enggan mengalah, takdirnya sebagai darah murni menentang segala kekangan untuknya. Dia memegang tangan Sean, menyuarakan protes tanpa banyak kata. Selera minumnya menghilang.
" I think grandpa is right, honey. You should stay with me". Sean menggeleng, tak setuju mendengar pendapatnya. Dia menyodorkan tangan kirinya ke mulut Selene.
Gadis berdarah vampire itu melotot mendengar argumen pemilik dua pasang manik biru itu. Batinnya diam-diam mencemoh mereka.
" Grandfather and grandson are the same". Batinnya jengkel. Dia menepis tangan Sean dari bibirnya.
Dia kali ini masih bersabar menunggu kelanjutan kalimat mereka. Meski sesekali netranya berpendar merah menyala. Jiwa vampirenya aktif dan seharusnya keduanya paham jika Selene benci mengikuti aturan orang lain. Dia si pemegang kekuasaan bukan orang yang tunduk pada kekuasaan.
" Stop beating around the bush, old man. Tell me what do you want". Selene masih menantang. Enggan kalah meski dia sendirian, situasi dua lawan satu masih berlangsung.
Sean berdecak, lebih tepatnya dia tidak suka pada sikapnya. Dia merasa Selene agak kurang ajar pada kakeknya. Sekarang dia merasakan perasaan ketika orang yang ia hormati diremehkan oleh gadisnya. Rasanya tak menyenangkan.
" Look at me, honey. Grandpa said it was for our own good. Please just do what he wants this time". Sean mengatupkan tangannya memohon.
Kali ini grandpa berdecak dalam hati. Cucu laki-lakinya mahir bermain peran. Terasa menggelikan dalam penglihatannya. Melihat wajah datar cucunya juga tatapannya yang memohon sungguh menggelikan.
" You're doing so well. That's my grandson". Pujinya dalam hati.
Selene masih kukuh enggan melepaskan tatapannya dari sang pasangan. Sementara Sean masih keras kepala dengan permintaannya yaitu menuruti sang kakek. Baru kali ini dia setuju dengan pendapat kakeknya. Bekerja sama demi bisa tinggal bersama gadisnya.
" S***". Selene mengumpat dalam hati, inilah yang dia benci. Melihat Sean memohon, wajah tampannya dia gunakan dengan baik berhasil membuatnya mengangguk tanpa ia sadari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood Thirsty
VampireMoon Godness mempertemukan keduanya berkat takdir. Mengikat keduanya sejak masa dalam kandungan. Selene yang merupakan vampire murni nyatanya berjodoh dengan manusia bernama Sean. Laki-laki aneh yang seenaknya mengklaim dirinya sebagai milik lelaki...