Gema di Sastra Kafe: Kebenaran dan Kesedihan

12 2 0
                                    


Setelah pertemuannya dengan Sarjono dan Taufik kemarin, yang memberi tahu bahwa Daryono Sudrajat adalah dalang utama di balik kasus korupsi besar yang ia investigasi, Dahayu merasa dunianya runtuh. Ia masih tak percaya bahwa Herdi, pria yang telah membuat hatinya bergetar sejak pertama kali bertemu, adalah anak dari Daryono. Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan dan kebingungan.

Dengan hati berat, Dahayu memutuskan untuk mengirim pesan kepada Herdi.


"Herdi, kita perlu bicara. Bisa bertemu di Sastra Kafe?"

Tak lama kemudian, balasan datang.

"Aku bisa, tapi selesai tugas lapangan. Sekitar jam empat sore"

"Tidak masalah. Jam empat sore aku tunggu."


Sore itu, Dahayu menunggu di kafe dengan gelisah. Tangannya menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin. Sementara pikirannya terus memikirkan bagaimana pembicaraan ini akan berlangsung. Saat Herdi datang, ia tampak cemas. Mata mereka bertemu, dan seketika suasana berubah menjadi berat.

"Dahayu, apa yang terjadi? Kamu seperti... berbeda di pesanmu," tanya Herdi dengan nada cemas.

Dahayu menunduk, mencoba mengatur napasnya sebelum berbicara. "Aku tahu, Herdi. Aku tahu bahwa ayahmu, Daryono Sudrajat, terlibat dalam kasus korupsi yang sedang aku investigasi."

Herdi tampak terkejut, wajahnya langsung pucat. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan suara pelan, "Aku... aku juga baru tahu, Dahayu. Aku benar-benar baru tahu tentang semua ini. Ayah tidak pernah bercerita tentang apa yang dia lakukan. Ketika aku tahu... aku merasa hancur. Aku merasa bersalah."

Dahayu menatapnya dengan tajam, hatinya dipenuhi dengan konflik. "Herdi, ini semua begitu rumit. Kamu anak dari pria yang telah menyebabkan banyak kerugian. Bagaimana aku bisa... bagaimana aku bisa tetap bersamamu sementara aku harus mengungkap kejahatan ayahmu?"

Herdi terdiam, menunduk dengan ekspresi penuh penyesalan. "Aku mengerti, Dahayu. Aku tahu ini sulit untukmu. Tapi kamu harus percaya, aku tidak ada hubungannya dengan semua ini. Aku bahkan marah ketika tahu ayahku terlibat. Aku merasa bersalah, tapi aku tidak tahu harus berbuat apa."

Mendengar kata-kata itu, hati Dahayu sedikit melunak. Ia tahu Herdi adalah orang yang baik, dan cinta yang ia rasakan untuknya bukanlah sesuatu yang bisa ia abaikan begitu saja. Tapi situasi ini jauh lebih kompleks daripada sekadar cinta. Setelah beberapa saat hening, Herdi melanjutkan, suaranya semakin lirih, "Dahayu... aku mencintaimu. Aku mencintaimu sejak pertama kali melihatmu di alun-alun. Aku tahu perasaanku padamu berbeda. Aku mencintaimu, dan aku tak pernah ingin ini menghancurkan hubungan kita."

Dahayu terdiam. Di dalam hatinya, dia sebenarnya juga merasakan hal yang sama. Herdi adalah seseorang yang ia cintai, meskipun ia tak pernah mengatakannya dengan jelas. Entah sejak kapan perasaan itu tumbuh. Tapi kata-kata itu begitu sulit diucapkan sekarang, di tengah semua kerumitan ini.

"Herdi..." suara Dahayu melemah. "Aku... aku..."

Namun, ia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Ada terlalu banyak emosi yang menghentikannya. Cinta yang dia rasakan untuk Herdi begitu kuat, namun profesinya, tanggung jawabnya, dan kenyataan tentang siapa ayah Herdi menjadi dinding besar yang sulit untuk dilewati. Herdi memandang Dahayu dengan tatapan penuh harap, tapi dia tahu bahwa jawabannya tidak akan mudah. Dia mengangguk pelan, menerima kenyataan bahwa cinta mereka mungkin tidak akan pernah berjalan mulus.

"Aku mengerti, Dahayu. Kamu tidak harus mengatakan apapun. Aku hanya ingin kau tahu, aku akan selalu mencintaimu, apapun yang terjadi."

Dahayu hanya bisa menunduk, perasaannya bercampur aduk. Ia ingin menjawab, tapi kata-kata seakan terhenti di tenggorokannya.

Dengan berat hati, Herdi bangkit dari kursinya. "Aku akan pulang dulu, ya. Jika suatu hari kamu siap, aku akan ada di sini."

Dahayu menatapnya pergi, dadanya terasa sesak. Ia tahu bahwa perasaan ini tidak akan mudah hilang. Saat Herdi berjalan keluar kafe, air mata mulai menggenang di matanya. Begitu ia sampai di dalam mobilnya, Herdi tak lagi bisa menahan tangisnya. Matanya berkaca-kaca, dan rasa bersalah menghancurkan hatinya. Perjalanan pulang terasa sangat panjang bagi Herdi. Setiap langkah menuju rumah dipenuhi oleh perasaan bersalah, kecewa, dan cinta yang belum sepenuhnya terungkap. Hatinya remuk karena mengetahui bahwa ia mencintai seseorang yang harus berjuang melawan keluarganya sendiri.

Sementara itu, di kafe, Dahayu duduk sendirian, berusaha meredam perasaannya. Sebenanya dia juga mulai menyukai Herdi, tapi mulutnya seakan terkunci setiap ingin mengatakannya. Cinta dan kewajiban seolah berperang di dalam dirinya, dan ia tahu bahwa keputusan yang harus ia buat tak akan pernah mudah.


(***)


(Rumah Daryono Sudrajat)

Sementara itu, di kediaman keluarga Daryono Sudrajat, situasi juga semakin memanas. Daryono sedang duduk di belakang meja kerjanya, merasa gelisah. Ia menatap Rudi, asistennya, yang baru saja memberikan kabar buruk.

"Pak, kita punya masalah. Wartawan itu, Dahayu sudah dekat dengan narasumber kunci. Jika dia berhasil mempublikasikan laporan itu, akan sangat sulit bagi kita untuk membendungnya."

Daryono mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Kita harus melakukan sesuatu, Rudi. Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi. Semua ini akan menghancurkan karir dan hidupku. Herdi juga akan terkena imbasnya."

Rudi mengangguk pelan. "Saya mengerti, Pak. Saya sudah mencoba beberapa cara untuk menghentikan penyelidikannya, tetapi dia terlalu gigih. Dia sudah menemukan terlalu banyak bukti."

Daryono terdiam sejenak, pikirannya berpacu. "Kalau begitu, kita harus menempuh cara terakhir."

Rudi terkejut. "Maksud Anda, Pak?"

Daryono menatap Rudi dengan pandangan tajam. "Kita harus menghentikannya secara langsung. Entah bagaimana caranya, pastikan dia tidak bisa mempublikasikan laporan itu."

Rudi mengangguk ragu. "Baik, Pak. Saya akan segera mengurusnya."

Namun, saat Rudi berbalik untuk pergi, Daryono tiba-tiba memanggilnya lagi. "Tunggu. Jangan sampai Herdi tahu. Dia tidak boleh terlibat dalam kekacauan ini."

Rudi menunduk hormat sebelum meninggalkan ruangan. Daryono menghela napas panjang, merasa seolah-olah dunia mulai runtuh di sekelilingnya. Dia tahu bahwa segala yang dia bangun selama bertahun-tahun bisa hancur dalam semalam jika Dahayu berhasil mempublikasikan laporannya.

DIBALIK LAYAR KOTA SOLOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang