Janji Dahayu: Cinta, Persahabatan dan Profesionalitas

11 1 0
                                    


Esok siang, Dahayu berjalan dengan langkah perlahan menuju ruang perawatan Herdi di rumah sakit. Hatinya berdebar campur aduk antara kecemasan dan harapan. Meski semalam Herdi sempat menunjukkan tanda-tanda kehidupan, kondisinya belum sepenuhnya stabil. Sesampainya di depan jendela ruangan, Dahayu mendapati Herdi masih terbaring tak sadarkan diri. Alat bantu pernapasan tetap terpasang, dan beberapa monitor terus memantau kondisinya. Di dekat pintu, Dahayu melihat ibu Herdi. Wanita itu duduk dengan tenang di kursi rumah sakit, wajahnya tampak lelah dan penuh kekhawatiran. Namun, Daryono tidak terlihat di sana.

"Ibu," sapa Dahayu pelan, menghampirinya dengan hati-hati.

Ibu Herdi tersenyum lembut saat melihat Dahayu mendekat. "Dahayu, duduklah sebentar di sini," ajaknya, menunjuk kursi kosong di sebelahnya.

Dahayu pun duduk di sampingnya, mereka berdua saling diam untuk beberapa saat, hanya ditemani oleh suara langkah kaki perawat dan orang-orang yang berlalu lalang. Setelah hening sejenak, Ibu Herdi membuka pembicaraan dengan suara pelan tapi penuh perasaan.

"Kamu memang cantik, Dahayu," katanya tiba-tiba. "Sama seperti yang Herdi katakan. Dia pernah bilang begitu waktu dia baru pulang dari olahraga di alun-alun. Waktu itu senyumnya lebar. Katanya dia bertemu seorang gadis cantik yang menarik perhatiannya... rupanya, gadis itu kamu."

Dahayu tersenyum tipis, teringat pertemuan pertama kali dengan Herdi di alun-alun Solo, tanpa tahu bahwa Herdi adalah anak Daryono. Hatinya tersentuh mendengar cerita dari Ibu Herdi. Ibu Herdi melanjutkan dengan nada lebih serius. "Semalam, setelah Herdi pulang, dia marah besar kepada ayahnya. Dia bilang tidak akan tinggal jika kamu kenapa-napa. Mereka bertengkar hebat, dan Herdi pergi begitu saja tanpa sempat istirahat, bahkan ia belum makan malam. Stres karena pekerjaan, masalah ayahnya... semuanya menumpuk. Mungkin itu yang membuatnya jatuh seperti ini."

Dahayu tertegun mendengar penuturan tersebut. Ia bisa merasakan betapa besar tekanan yang dirasakan Herdi akhir-akhir ini. Bukan hanya karena pekerjaannya, tetapi juga karena harus berhadapan dengan kenyataan pahit tentang ayahnya sendiri. Beban itu tampaknya menjadi terlalu berat untuk ditanggung. Sambil menunduk, Dahayu merasa semakin yakin bahwa Ibu Herdi tidak terlibat dalam kasus korupsi yang dilakukan suaminya. Sikap tulus dan kekhawatiran wanita itu terhadap Herdi membuatnya berpikir bahwa mungkin Ibu Herdi tidak tahu menahu soal semua ini.

Dengan nada lembut, Ibu Herdi menatap Dahayu. "Dahayu, aku tahu kamu mencintai Herdi, dan aku juga tahu apa yang sedang kamu lakukan. Kamu harus melanjutkan investigasi ini, Dahayu. Pengorbanan Herdi... jangan sampai sia-sia. Aku mohon, tuntaskan apa yang sudah dia mulai."

Mata Dahayu mulai berkaca-kaca mendengar permohonan Ibu Herdi. Meskipun hati kecilnya diliputi perasaan bersalah karena mengungkap kebusukan Daryono Sudrajat yang juga ayah Herdi, ia tahu bahwa ini adalah jalan yang benar. Demi Herdi, demi keadilan, ia harus melanjutkan apa yang sudah dimulainya.

Dahayu mengangguk pelan. "Saya berjanji, Bu. Saya akan menyelesaikan ini, untuk Herdi."

Ibu Herdi tersenyum tipis, kemudian menoleh ke arah tempat Herdi terbaring. "Terima kasih, Dahayu. Kamu adalah seseorang yang sangat berarti untuknya... dan untuk kami."

Dahayu menggenggam tangan Ibu Herdi erat-erat, seolah memberikan jaminan bahwa ia tidak akan mengecewakan mereka. Di balik kekhawatiran dan kesedihan, ia menemukan semangat baru untuk terus maju, meski jalan di depannya masih panjang dan berliku.


(***)

(Ruang Dokter Reza)

Dahayu melangkah menuju ruang dokter Reza dengan hati yang masih dipenuhi kecemasan. Ia ingin mengetahui kondisi Herdi lebih lanjut setelah melihat keadaannya yang belum sadar. Sesampainya di depan pintu, ia mengetuk pelan dan segera mendengar suara dari dalam yang mempersilakannya masuk.

DIBALIK LAYAR KOTA SOLOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang