Sarjono dan Rahasia Proyek Terlarang

19 3 0
                                    


Usai dari kantor kepolisian Solo, Dahayu melsaju ke pinggiran Solo. Dimana sesuai informasi yang diterimanya, Sarjono dikabarkan tinggal disana setelah pensiun dini. Desa tempat Sarjono tinggal terasa jauh dari hiruk-pikuk kota, dengan sawah-sawah terbentang di sepanjang jalan. Mobil yang ia sewa berderak melewati jalan kecil yang berkerikil, hingga akhirnya berhenti di depan rumah sederhana dengan pagar kayu yang sudah mulai lapuk.

Dahayu melangkah keluar, mengatur napas sejenak sebelum mengetuk pintu rumah itu. Suara ketukan pelan menggema, dan tak lama kemudian seorang pria tua membuka pintu. Wajahnya terlihat letih, seolah-olah membawa beban berat dari masa lalunya.

"Selamat siang, Pak Sarjono?" Dahayu memulai, mencoba terdengar ramah namun penuh kehati-hatian.

Pria itu menatap dengan pandangan curiga. "Siapa kamu?" suaranya serak, matanya menyipit seakan menimbang-nimbang niat Dahayu.

"Saya Dahayu, wartawan. Saya datang untuk berbicara tentang proyek infrastruktur di Solo," jawabnya jujur, meski ia tahu ini bukan topik yang mudah dibicarakan.

Sarjono terdiam sejenak, lalu matanya berpaling ke arah jalan, memastikan tidak ada orang lain yang mendengar. "Masuk," ujarnya singkat, sambil membuka pintu lebih lebar.

Dahayu mengikutinya masuk ke ruang tamu yang sederhana. Dindingnya dihiasi beberapa foto keluarga dan sertifikat penghargaan, sisa-sisa dari masa kejayaan Sarjono ketika masih menjabat.

"Saya tidak suka berbicara tentang itu lagi," ucap Sarjono saat duduk di kursi kayu tua. Suaranya datar, namun ada getaran ketakutan yang tersembunyi di balik kata-katanya.

"Saya mengerti, Pak," jawab Dahayu pelan, mengambil tempat duduk di seberangnya. "Tapi ada banyak hal yang belum terungkap tentang proyek itu. Saya percaya Bapak tahu sesuatu yang bisa membantu kami mengungkap kebenaran."

Sarjono menunduk, tangannya meremas-remas lututnya, seakan sedang menahan sesuatu yang berat. "Proyek itu... lebih dari sekadar korupsi biasa. Ada orang-orang besar yang terlibat, mereka punya kekuatan yang tidak bisa dilawan."

"Siapa yang Bapak maksud? Saya butuh nama-nama konkret pak," desak Dahayu dengan hati-hati, mencoba menjaga agar suasana tetap tenang.

Sarjono menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara yang hampir berbisik, "Mereka tidak akan segan-segan membungkam siapa pun yang terlalu dekat dengan kebenaran. Waktu saya mundur dari dinas, itu bukan pilihan saya. Saya dipaksa. Dan mereka yang menolak... ya, mereka hilang begitu saja."

Dahayu mendekatkan tubuhnya sedikit ke arah Sarjono, mencoba menenangkan pria tua itu. "Bapak tidak perlu takut. Saya di sini hanya untuk mengungkap kebenaran, dan saya berjanji tidak akan menyebutkan nama Bapak jika itu bisa membahayakan. Tapi tolong, beritahu saya, siapa yang memaksa Bapak mundur?"

Sarjono memejamkan matanya, seakan sedang mengingat-ingat kembali masa-masa kelam itu. "Ada seorang politikus besar yang mengendalikan semuanya. Namanya sudah beredar di mana-mana, tapi mereka belum punya bukti kuat. Dan ada satu orang lagi, dia seorang kontraktor besar yang mencuci uang melalui proyek itu."

Dahayu mengeluarkan buku catatannya, mencatat cepat apa yang Sarjono katakan. "Apa Bapak punya bukti? Dokumen, mungkin?"

Pria tua itu tampak gelisah, pandangannya beralih ke jendela, seolah-olah takut ada yang mengintai dari luar. "Ada beberapa dokumen yang saya simpan, tapi saya harus hati-hati. Kalau mereka tahu saya masih punya itu... saya bisa dalam bahaya besar."

Dahayu terdiam sejenak, merasa beban situasi ini semakin berat. "Saya paham, Pak. Saya tidak akan memaksa Bapak untuk menyerahkan apa pun sekarang. Tapi kalau ada kesempatan, dokumen itu bisa sangat membantu."

DIBALIK LAYAR KOTA SOLOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang