Dinding Penjara, Dinding Hati yang Runtuh

9 1 0
                                    


Seminggu kemudian, setelah masa pemulihan yang intens, Dokter Reza akhirnya memberikan kabar baik. Kondisi Herdi semakin membaik. Meskipun belum sepenuhnya pulih, ia diperbolehkan pulang dengan syarat tetap menggunakan kursi roda untuk sementara. Lembaga Kepolisian juga memberi cuti satu bulan penuh agar Herdi bisa fokus memulihkan kesehatannya. Di hari kepulangan, suasana hati Dahayu dan ibu Herdi sedikit lega. Mereka siap membawa Herdi pulang setelah merapikan pakaian. Herdi yang saat itu memandang langit pagi, mempunyai satu tujuan lain yang ingin ia capai sebelum kembali ke rumah. Ia ingin bertemu ayahnya di lapas.

"Bu, aku ingin bertemu dengan ayah," ujar Herdi menatap ibunya yang sedang membereskan pakaiannya.

Dahayu menatap Herdi khawatir. "Kamu yakin, Di? Kondisimu masih belum stabil. Mungkin kita bisa lakukan ini besok." Kata Dahayu

"Iya nak. Apa tidak menunggu sampai kamu benar-benar pulih?" kata Ibu Herdi.

Herdi menggeleng, meski tubuhnya tampak lelah. "Aku sudah terlalu lama menunda ini. Aku harus bicara dengannya, meminta maaf... sebelum semuanya terlambat."

Ibunya, yang duduk di samping, hanya mengangguk. "Kalau ini yang kamu inginkan, baiklah. Habis ini kita temui ayahmu, ya...." Tutur ibunya sambil membelai kepala anaknya dengan lembut.

Sesampainya di lapas, suasana mencekam. Herdi, ditemani oleh Dahayu dan ibunya, melangkah perlahan menuju ruang tamu lapas, tempat mereka akan bertemu ayahnya. Udara dingin terasa menusuk, seolah menambah berat langkah-langkah mereka. Di depan pintu, seorang Polisi berjaga dengan tatapan serius namun penuh pengertian. Ia memberi hormat, setelah memeriksa izin kunjungan.

"Silakan, Pak Herdi, Ayah Anda sudah menunggu di dalam."

Herdi mengangguk singkat, hatinya terasa campur aduk antara rindu dan amarah. Mereka masuk ke ruang tamu yang sederhana, dengan beberapa kursi plastik dan meja kayu di tengah. Di pojok ruangan, Daryono duduk dengan punggung sedikit membungkuk. Pria yang dulu gagah itu kini terlihat lusuh, rambutnya sudah beruban dan wajahnya penuh kerutan yang menyiratkan penyesalan mendalam. Ketika matanya bertemu dengan Herdi, Daryono mencoba tersenyum, meskipun wajahnya tampak lelah.

"Herdi..." suaranya serak, seperti berat untuk diucapkan.

Herdi menatap ayahnya sejenak, lalu menarik napas panjang sebelum duduk di hadapannya. "Iya Yah, kenapa?" ucapnya pelan. Namun di balik suaranya, ada rasa sakit yang sulit disembunyikan. Ketika Herdi masuk, Daryono berdiri perlahan, sedikit terkejut melihat kondisi putranya yang kini menggunakan kursi roda.

"Herdi... kamu datang," kata Daryono dengan suara pelan namun berat.

Herdi menatap ayahnya, sejenak tak mampu berkata-kata. Ibunya menepuk bahu Herdi dengan lembut, memberikan dorongan yang ia butuhkan.

"Ayah... aku... aku minta maaf," suara Herdi terdengar bergetar, sarat dengan emosi. "Aku merasa gagal sebagai anakmu. Aku tidak bisa mengubah keadaan. Kalau saja aku bisa melakukan lebih banyak, mungkin kita tidak akan seperti ini."

Daryono menunduk, air mata mulai menetes di wajah tuanya. "Jangan, Nak. Semua ini... kesalahanku. Aku yang membuat keputusan-keputusan buruk, bukan kamu. Kamu telah melakukan apa yang benar, bahkan jika itu berarti harus berlawanan denganku."

Herdi mengepalkan tangan di pangkuannya, emosinya tak bisa ditahan. "Tapi Ayah, aku ingin membantu. Aku ingin menyelamatkanmu. Tapi aku merasa gagal..." Daryono mendekati Herdi, meletakkan tangannya yang gemetar di bahu putranya. "Herdi, kamu tidak pernah gagal. Aku bangga padamu. Kamu lebih kuat dari yang aku duga. Kamu memilih jalan yang benar meskipun itu sulit."

Ibunya Herdi, yang disampingnya meneteskan air mata sambil menyaksikan momen ini. Dahayu mengusap lembut punggung Herdi, mencoba menenangkan emosi yang meluap.

"Ayah," lanjut Herdi, "aku hanya ingin kita bisa memulai dari awal lagi. Mungkin aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, tapi aku ingin memperbaiki hubungan kita... apapun yang terjadi."

Daryono terdiam sejenak, kemudian mengangguk dengan mata berkaca-kaca. "Ayah minta maaf, Nak. Terima kasih karena masih memberiku kesempatan... meski aku tidak pantas mendapatkannya."

Herdi tersenyum kecil, meski air mata masih mengalir. "Kamu selalu pantas, Ayah."

Ruangan itu dipenuhi oleh keheningan penuh emosi. Tidak ada kata yang mampu menggambarkan kedalaman rasa sakit dan penyesalan yang mereka rasakan. Namun di balik itu semua, ada harapan yang mulai tumbuh. Sebuah kesempatan baru untuk memperbaiki dan memulai segalanya kembali, bersama-sama. Dahayu menatap Herdi dengan penuh kasih sayang, dan ibunya memeluk erat putranya. Daryono, yang selalu tampak kuat dan berwibawa, kini terlihat rapuh di depan keluarganya. Tetapi ada penerimaan di sana meskipun jalan ke depan masih panjang. Mereka tahu bahwa kali ini, mereka tidak akan menghadapi semua itu sendirian.

Beberapa saat kemudian, waktu kunjungan hampir habis, Daryono berdiri. Ia menatap putranya dengan pandangan penuh kasih sayang. "Jaga dirimu baik-baik, Herdi. Aku akan berdoa untuk kesembuhanmu." Sambil merangkul bahu anak laki-laki yang sangat ia sayangi.

Herdi mengangguk dengan senyum tipis. "Aku akan baik-baik saja, Ayah. Kita semua akan baik-baik saja." Ucap Herdi.

Dengan perasaan yang lebih ringan, mereka meninggalkan Lapas. Meskipun hari itu penuh dengan emosi, Herdi merasa beban di pundaknya telah terangkat. Ia tahu, di balik semua kesulitan yang telah dilaluinya, kini ada ruang untuk memulai kembali, bukan hanya dalam pekerjaannya, tetapi juga dalam hubungannya dengan ayahnya. 

DIBALIK LAYAR KOTA SOLOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang