Di Ujung Sesal, Di Ambang Kehilangan

18 1 0
                                    


Daryono masih terpaku di tempat duduknya, tangannya gemetar. Ruangan sel yang sempit dan suram seolah-olah makin menekan dirinya dari segala arah. Hatinya seperti hampa, kosong tanpa daya untuk menahan gelombang emosi yang menghantam. Seorang sipir dengan wajah penuh simpati mendekatinya perlahan, dengan berat hati ia membuka mulut,

"Permisi Pak Daryono.... Saya mau memberitahu bahwa AKP.Herdiansyah Pratama, putra anda baru saja mengalami kecelakaan mobil dan tewas di tempat."

Kata-kata itu menampar Daryono dengan kekuatan yang lebih besar daripada yang bisa ia bayangkan. Suara sipir seakan menggema di dalam sel sempit itu, mengiris hatinya yang sudah remuk.

"Herdiansyah..." Daryono tergagap, matanya membelalak. Ia baru menyadari bahwa nama itu merujuk pada Herdi, anaknya yang selama ini menjadi Perwira Polisi. Anak yang ia kecewakan. Rasa sesak semakin menghimpit dadanya. "Herdi... anakku...," suaranya parau dan nyaris tak terdengar.

"Saya turut berduka cita, Pak Daryono," sipir itu menundukkan kepala dengan penuh hormat. Namun, dia tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa meredakan kesedihan ayah yang baru saja kehilangan anaknya. Daryono perlahan berdiri, kedua kakinya terasa lemah, nyaris tak mampu menopang tubuhnya. Ia menatap sipir dengan tatapan hampa, lalu melangkah goyah menuju dinding sel. "Herdi... dia tidak seharusnya...," katanya, lebih kepada dirinya sendiri.

Ia meraih terali besi di depannya, menggenggamnya kuat-kuat seolah-olah itu bisa menghentikan beban yang menghancurkan batinnya. "Kenapa? Kenapa harus Herdi yang pergi?" tanyanya tanpa mengharapkan jawaban. Sipir itu tetap berdiri di tempat, tak ingin mengganggu saat-saat penuh kesedihan itu, tetapi juga merasa bertanggung jawab untuk memastikan Daryono baik-baik saja. "Apakah ada yang bisa saya lakukan, Pak Daryono?"

Daryono terdiam, lalu perlahan melepaskan cengkeramannya dari terali. Ia memandang ke arah lantai, air mata berlinang di pipinya, tetapi suaranya lebih tenang, "Tidak ada yang bisa kau lakukan. Semua sudah terlambat... terlalu terlambat."

Suara langkah kaki sipir perlahan menghilang, meninggalkan Daryono sendirian di dalam sel yang semakin terasa mencekam. Ingatan tentang Herdi datang bertubi-tubi, tentang masa kecilnya, tentang senyuman yang dulu menghiasi wajah anaknya sebelum semuanya hancur karena perbedaan yang tak pernah terselesaikan. Daryono berlutut di sudut ruangan, meremas kepalanya dengan kedua tangan.

"Maafkan aku, Nak..." isaknya, suaranya hampir tak terdengar. Ia menangis keras, menggema di dalam ruangan kecil itu, membawa keluar semua rasa sesal dan kesedihan yang selama ini ia tahan.

(****)

Setelah beberapa saat, langkah kaki sipir kembali terdengar mendekat. Kali ini, ia berdiri di depan pintu sel Daryono dengan wajah sedikit ragu. Daryono masih terisak di sudut ruangan, tubuhnya membungkuk, lemah dan tak berdaya.

"Pak Daryono," suara sipir itu lembut namun tegas, mencoba menarik perhatian pria yang terbenam dalam kesedihan itu. "Ada kabar dari kepala lapas. Anda diizinkan untuk menghadiri pemakaman putra anda, AKP. Herdiansyah Pratama. Besok pagi."

Daryono mendongak, air mata yang mengalir deras masih membasahi wajahnya. Wajahnya menampilkan ekspresi keterkejutan, dan untuk sesaat ia tidak bisa merespon. Seakan kata-kata itu tidak cukup untuk membangkitkan semangatnya yang sudah hancur.

"Pemakaman...?" Daryono bertanya dengan suara serak, hampir tidak percaya. Ia memandang sipir itu dengan tatapan tak yakin. "Aku... aku boleh pergi...?"

Sipir itu mengangguk. "Ya, Pak Daryono. Kepala lapas telah memberikan izin khusus. Anda akan dikawal oleh petugas selama pemakaman."

Daryono tetap terpaku di tempatnya, tak percaya bahwa ia akan bisa melihat anaknya untuk yang terakhir kali, meskipun itu dalam kondisi yang paling menyakitkan. Perasaannya campur aduk—antara penyesalan yang tak terukur dan rasa syukur yang ganjil karena diberi kesempatan terakhir untuk mengucapkan selamat tinggal. "Tapi...," Daryono berbicara dengan suara yang goyah, "Apa gunanya aku pergi? Semuanya sudah terlambat. Aku bahkan tidak bisa menjadi ayah yang baik ketika dia masih hidup... Bagaimana aku bisa menatapnya sekarang?"

Sipir itu terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada simpati, "Setidaknya, Pak Daryono, ini adalah kesempatan terakhir anda untuk memberinya penghormatan. Untuk mengucapkan apa yang mungkin belum sempat anda sampaikan."

Daryono terdiam, air mata kembali menggenang di sudut matanya. Ia perlahan bangkit dari lantai, meskipun tubuhnya terasa seolah berat menanggung semua penyesalan yang ia rasakan. "Ya... aku harus pergi... Aku harus mengucapkan selamat tinggal pada anakku..."

Sipir itu mengangguk pelan dan berkata, "Kami akan mempersiapkan segalanya. Besok pagi kita berangkat."

Daryono menunduk, rasa kehilangan kembali menghimpit dada, tetapi ada juga sedikit ketenangan yang menyusup di dalam hatinya. Bahwa setidaknya ia tidak akan kehilangan kesempatan untuk melihat wajah putranya untuk yang terakhir kali, meskipun hanya di pemakaman. Saat sipir beranjak pergi, Daryono duduk kembali di atas ranjangnya yang keras. Ia menatap kosong ke dinding, air matanya tetap mengalir, tetapi kini ada satu tujuan dalam pikirannya. Memberikan penghormatan terakhir untuk anaknya, yang seharusnya ia lindungi, tetapi kini hanya bisa ia tangisi. 

DIBALIK LAYAR KOTA SOLOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang