Ketika Detak Terhenti

11 2 0
                                    


Dua jam telah berlalu sejak Herdi pingsan di kamar hotel, namun kondisinya belum juga sadar dan membaik membuat Dahayu semakin panik. Dokter Reza yang saat itu masih ada disana, memeriksa kembali kondisi Herdi. Namun, Herdi masih belum menunjukkan tanda-tanda sadar. Dokter Reza menarik napas dalam, menyadari bahwa kondisinya butuh penanganan serius.

"Ayu, kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Kondisinya harus segera ditangani lebih lanjut. Kita harus membawanya ke rumah sakit," ujar dr. Reza dengan nada tegas.

Dahayu menggigit bibirnya, matanya dipenuhi kecemasan. "Ya, Reza. Tolong, panggil ambulans sekarang juga."

Tak lama setelah dr. Reza menghubungi layanan darurat, sirene ambulans mulai terdengar mendekat. Paramedis datang dengan cepat, memeriksa kondisi Herdi sebelum menempatkannya di atas tandu dan membawanya ke ambulans. Dahayu mengikuti dari belakang dengan cemas, menggenggam tangan Herdi sekuat mungkin seolah tidak ingin melepaskannya. Sesampainya di rumah sakit, Herdi segera dibawa ke ruang gawat darurat. Dahayu hanya bisa berdiri di luar ruangan dengan perasaan campur aduk antara khawatir dan takut. Di kepalanya, bayangan Herdi yang terbaring tak sadarkan diri dengan kondisi tubuh yang makin lemah terus menghantuinya. Beberapa waktu kemudian, dr. Reza keluar dari ruangan tersebut, wajahnya serius.

"Ayu, Herdi sekarang dipasangkan alat bantu pernapasan. Dia mengalami serangan panik yang cukup berat dan ada kemungkinan tekanan darahnya turun drastis karena stres. Kondisinya stabil, tapi kita harus menunggu dia sadar," jelas dr. Reza dengan suara tenang namun tegas.

Dahayu mengangguk, meskipun hatinya berdegup kencang. "Terima kasih, Reza. Aku harap dia segera sadar." Dr. Reza tersenyum tipis. "Kita akan terus memantaunya. Jangan khawatir, tim di sini sangat kompeten."

Tak lama kemudian, Dahayu mendengar suara langkah kaki mendekat. Ketika ia menoleh, dilihatnya dua sosok yang sepertinya familiar: Daryono Sudrajat dan istrinya, ibu Herdi. Wajah Daryono tampak tegang dan muram, sementara Ibu Herdi terlihat sangat cemas dengan mata yang sembab, habis menangis.

"Kamu Dahayu, kan?" suara Ibu Herdi terdengar gemetar. "Apa yang terjadi dengan Herdi, nak? Kenapa dia bisa sampai seperti ini?"

Dahayu menelan ludahnya, berusaha menenangkan dirinya sebelum menjawab. "Herdi... dia tiba-tiba pingsan, Bu. Dokter bilang dia mengalami serangan panik yang sangat berat karena terlalu stres. Sekarang dia masih belum sadar."

Ibu Herdi langsung terduduk di kursi terdekat, air matanya mengalir lagi. "Ya Tuhan... kenapa anakku? Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya."

Daryono yang berdiri di samping istrinya, tampak menahan diri untuk tidak menunjukkan emosi. Wajahnya tegang, namun matanya menatap tajam ke arah Dahayu. "Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang membuatnya begitu stres?" tanyanya dengan nada yang dingin.

Dahayu terdiam sejenak, berusaha menimbang-nimbang jawabannya. Ia tahu bahwa kebenaran tentang apa yang Herdi hadapi terlalu berat untuk diungkapkan langsung. Terutama dengan Daryono yang juga terlibat dalam kasus yang sedang diinvestigasinya.

"Dia... dia merasa tertekan dengan banyak hal, Pak," jawab Dahayu hati-hati.

"Kami sedang menghadapi situasi yang sulit, dan dia mungkin terbebani."

Daryono menatapnya dengan sorot mata penuh kecurigaan, tetapi sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, seorang perawat keluar dari ruang ICU, memberitahu bahwa Herdi sudah dipasangkan alat bantu pernapasan untuk membantu stabilisasi kondisinya.

"Kalian bisa melihatnya, tapi mohon jangan terlalu lama." Kata sang perawat.

Dahayu, Daryono, dan ibu Herdi segera masuk ke dalam ruangan. Di sana, mereka melihat Herdi terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan tubuh yang masih lemas. Wajahnya pucat, dan alat bantu pernapasan terpasang di hidungnya. Beberapa monitor di samping tempat tidur menunjukkan stabilitas detak jantung dan tekanan darahnya, namun Herdi masih belum sadar. Ibu Herdi langsung mendekat, menggenggam tangan anaknya dengan penuh kasih sayang. Air matanya kembali mengalir ketika melihat kodisi anak kesayangannya.

DIBALIK LAYAR KOTA SOLOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang