***
Sesampainya di depan ruangan ibunya, Minsik melihat pintu terbuka sedikit. Di dalam, Tiffany, ibunya, sedang duduk di meja kerjanya, sibuk memeriksa seorang pasien. Minsik memutuskan untuk menunggu di luar, berdiri di lorong rumah sakit yang sibuk namun terasa sunyi pada saat yang bersamaan. Suara langkah kaki para perawat yang berlalu-lalang, dentingan peralatan medis, dan bisikan-bisikan halus dari ruangan lain membentuk latar yang samar di tengah pikirannya yang berisik.Beberapa menit kemudian, pasien itu keluar dari ruangan, dan Tiffany mendongak. Ia menatap ke luar, melihat Minsik yang berdiri di ambang pintu. "Oh, Minsik. Kamu di sini?"
Minsik melangkah masuk, dan seketika perasaan canggung merayap di antara mereka. Ada sesuatu yang besar, sesuatu yang belum terselesaikan, tergantung di udara.
Tiffany memandang putrinya sejenak, memperhatikan wajah Minsik yang tampak tegang. "Sudah makan siang? Kalau belum, kita bisa pergi makan bersama. Ibu punya sedikit waktu sebelum pasien berikutnya."
Minsik menggeleng pelan. "Aku sudah makan."
Tiffany mengangguk, melanjutkan merapikan dokumen di mejanya. "Syukurlah. Ada yang ingin kamu bicarakan?"
Minsik duduk di kursi depan meja ibunya. "Kenapa Ibu menemui Giselle di kantor?" tanyanya langsung, suaranya penuh selidik.
Raut wajah Tiffany berubah sedikit kaku. Meski ia berusaha mempertahankan senyumnya, jelas ada sesuatu yang ingin ia sembunyikan. "Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang teman-temanmu, Minsik," jawabnya perlahan. "Tidak ada yang salah dengan itu, kan?"
"Tapi kenapa Ibu menanyakan hal seperti itu padanya?" Nada suara Minsik perlahan meninggi, meskipun dia masih berusaha menjaga ketenangannya.
Tiffany menarik napas panjang, menggeleng. "Minsik, Ibu hanya khawatir. Ibu tidak ingin kamu terjebak dalam hubungan yang salah. Hubungan seperti itu tidak normal."
Ucapan itu membuat perut Minsik mual. Dia sudah menduga pembicaraan ini akan mengarah ke sana, tetapi mendengarnya langsung dari mulut ibunya tetap terasa menyakitkan. "Bu, Giselle itu sahabatku. Kami tidak punya hubungan apa-apa selain itu. Aku jatuh cinta dengan perempuan lain."
Tatapan Tiffany berubah semakin tajam. Ada ketegangan dalam matanya, seolah ia mencoba menembus kebenaran di balik kata-kata Minsik. "Maksud kamu Karina?"
Tubuh Minsik menegang mendengar nama itu keluar dari mulut ibunya. "Darimana Ibu tahu tentang Karina?" suaranya bergetar, hampir menjadi bisikan.
"Ibu ke rumahmu kemarin. Ibu tidak menyangka kamu membiarkan temanmu tinggal serumah tanpa memberitahukannya lebih dulu."
"Aku ingin bilang, tapi aku butuh waktu—"
"Butuh waktu untuk membuat Ibu menerima hubungan kalian?" potong Tiffany tajam.