***
Setelah melewati hari yang melelahkan di kantor, Minsik sebenarnya ingin langsung pulang dan beristirahat. Namun, ajakan Giselle yang terus menerus memintanya menemani untuk membeli iPad baru tak bisa ia tolak.
Mereka berdua berjalan menuju pusat elektronik terdekat. Selama perjalanan, Giselle bercerita panjang lebar tentang bagaimana kejadian iPad lamanya rusak, sambil tertawa geli. Minsik hanya menggelengkan kepala dengan senyum tipis. Dia tak bisa membayangkan bagaimana bisa iPad lamanya terhimpit begitu keras hingga terbelah dua.
Setelah tiba di toko elektronik dan Giselle berhasil membeli iPad baru, tampaknya agenda mereka belum selesai. Giselle, yang tampak bersemangat, tiba-tiba mengusulkan untuk pergi ke hotel di pusat kota. "Aku butuh kamu temani aku ke hotel sebentar, Minsik. Ada riset untuk proyek kerja yang harus aku selesaikan. Ini penting buat laporan divisi kita minggu depan."
Minsik menghela napas, merasa lelah dan hanya ingin segera pulang. Tapi Giselle adalah sahabatnya, dan permintaannya terdengar masuk akal, apalagi berhubungan dengan pekerjaan mereka. "Baiklah, Giselle. Tapi setelah ini, aku benar-benar mau pulang, ya?"
Giselle mengangguk penuh semangat. "Ya, ya, aku janji! Ayo cepat."
Mereka pun segera menuju hotel yang dimaksud. Sepanjang perjalanan, Giselle terus berbicara tentang riset yang sedang mereka kerjakan, tetapi Minsik hanya setengah mendengarkan.
Setibanya di hotel, mereka menuju resepsionis untuk memeriksa ruangan yang akan dijadikan objek riset. Minsik yang masih merasa lelah dan sedikit tak sabar, memutuskan menunggu di lobi sementara Giselle berbicara dengan petugas hotel.
Setelah beberapa menit berlalu, Giselle kembali dan menarik tangan Minsik. "Ayo, naik ke atas sebentar. Aku ingin lihat salah satu ruang meeting yang mereka rekomendasikan untuk proyek kita."
Minsik mengangguk tanpa banyak bicara, mengikuti langkah Giselle menuju lift. Namun, ketika mereka berbalik ke arah lift, tiba-tiba langkah Minsik terhenti. Tubuhnya seketika terasa membeku, dan pandangannya terpaku pada satu sosok yang baru saja keluar dari lift.
Di hadapannya, Karina berjalan beriringan dengan seorang pria. Pria itu tinggi, berpakaian rapi, dan tampak akrab dengan Karina. Mereka berbicara dengan nada santai, dan sesekali pria itu tersenyum ke arah Karina. Tapi bukan itu yang membuat Minsik tercekat. Yang membuat dadanya serasa sesak adalah kenyataan bahwa Karina baru saja keluar dari sebuah hotel bersama pria itu.
Napas Minsik tersendat, dan dia hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Perasaan kecewa langsung menyelimuti dirinya. Seketika, segalanya terasa seperti tidak berarti, seolah lenyap begitu saja di hadapan pemandangan ini.
Matanya terus memandangi Karina, yang berjalan keluar dari hotel dengan pria itu. Jantungnya berdegup kencang, penuh dengan berbagai macam perasaan yang bercampur aduk—marah, bingung, dan patah hati. Namun, yang paling mendominasi adalah rasa kecewa yang begitu dalam. Mengapa Karina ada di sini lagi? Mengapa dia kembali melakukan ini?