***
Minsik menyetir dengan berat menuju rumahnya. Sepanjang perjalanan, hatinya dipenuhi rasa cemas dan tak bersemangat. Ia sudah memutuskan untuk pulang, tetapi keyakinan bahwa Karina mungkin tidak lagi ada di sana membuat setiap langkahnya terasa seperti beban yang semakin memberat. Pikiran-pikiran gelap menguasainya. Apa yang akan ia lakukan jika Karina memang pergi? Apakah ada kesempatan untuk memperbaiki semua ini?
Saat sampai di depan pintu rumah, Minsik keluar dari dalam mobil, lalu berhenti sejenak. Matanya memandang pintu kayu yang terlihat begitu akrab, tetapi hari ini terasa asing. Tiba-tiba, rumah itu seperti sebuah ruangan yang hampa-tanpa kehidupan, tanpa kehangatan. Ia menarik napas dalam-dalam dan memberanikan diri membuka pintu. Hatinya berdebar kencang, berharap sekaligus takut menghadapi kenyataan yang mungkin menunggunya di dalam.
Begitu pintu terbuka, rasa kosong itu menyapanya dengan keras. Minsik melangkah masuk, dan rumah yang dulunya terasa hangat dan penuh cinta kini seolah-olah dingin dan tak bernyawa. Karina tidak ada di sana. Rumah ini, yang biasanya dipenuhi suara tawa, canda, dan kehadiran Karina, sekarang terasa begitu sunyi. Minsik merasakan desakan di dadanya, sesak yang semakin lama semakin berat. Ia menatap sekeliling ruangan dengan mata hampa, mencoba mencari tanda-tanda keberadaan Karina, tetapi semuanya sia-sia.
Langkahnya semakin lambat saat ia berjalan ke ruang tamu. Sofa yang biasanya ditempati Karina kini kosong. Tidak ada tanda-tanda bahwa seseorang baru saja duduk di sana. Tidak ada secangkir teh yang biasanya Karina buat, tidak ada suara televisi yang menyala, dan yang paling menyakitkan, tidak ada Karina.
Minsik merasa kakinya goyah. Ia terduduk di sofa, menatap kosong ke arah meja di depannya. Pikirannya kacau. Ia kecewa pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia membiarkan kemarahan menguasainya hingga melontarkan kata-kata yang begitu menyakitkan? Kata-kata yang bahkan ia sesali begitu ia mengucapkannya. Namun sekarang, mungkin semuanya sudah terlambat.
Air mata mulai menggenang di sudut matanya. Perasaan bersalah, kecewa, dan kesepian bercampur menjadi satu, menghantamnya dengan keras. Ia ingin menangis, tetapi suara tangisnya seperti tertahan di tenggorokan. Rumah ini terlalu kosong, terlalu sunyi untuk menampung semua perasaannya. Minsik menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba meredam suara isak yang akhirnya keluar.
Di tengah keheningan itu, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Minsik langsung mengangkat kepalanya. Ia menahan napas. Di sana, di depan pintu, berdiri Karina. Rambutnya tergerai dengan wajah yang terlihat lelah, namun tangannya memegang kantong belanjaan yang penuh dengan bahan makanan. Sepertinya Karina baru saja kembali dari supermarket, tanpa tahu apa yang sedang terjadi di rumah.
Tanpa berpikir panjang, Minsik langsung berdiri dan berjalan cepat ke arah Karina. Sebelum Karina sempat bereaksi, Minsik sudah memeluknya erat-erat, seolah-olah takut Karina akan menghilang jika ia melepaskannya. Tubuhnya gemetar, dan tanpa bisa menahan lagi, air mata yang sedari tadi ditahannya tumpah begitu saja.