***
Matahari mulai terbenam, menyinari gedung-gedung tinggi kota Seoul dengan cahaya lembut keemasan. Di dalam kantor, suasana mulai sepi, sebagian besar karyawan sudah pulang atau sedang bersiap-siap untuk meninggalkan tempat kerja mereka. Minsik menatap layar komputernya, jari-jarinya mengetik cepat, menyelesaikan laporan yang harus diserahkan besok. Hari ini terasa panjang, pikirannya sesekali melayang ke Karina yang mungkin sudah sibuk menyiapkan makan malam di rumah.
Setelah beberapa saat, Minsik menghela napas panjang dan menutup laptopnya. Ia meregangkan otot-otot lehernya yang tegang dan mulai membereskan barang-barangnya. Kemeja biru yang dikenakannya sudah agak kusut, dan dasinya sudah sejak siang dilonggarkan. Ia lalu meraih tas kerjanya yang tergantung di sandaran kursi, bersiap untuk pulang. Namun, sebelum Minsik bisa melangkahkan kaki keluar dari ruang kerjanya, Giselle, yang duduk di meja sebelah, tiba-tiba menghentikannya.
"Minsik, tunggu sebentar!" panggil Giselle cepat. Suaranya terdengar lebih mendesak dari biasanya.
Minsik membalikkan badan, menatap Giselle dengan alis terangkat. "Ada apa?"
Giselle bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat, ekspresinya sedikit serius. "Aku mau bicara sesuatu. Ada yang sudah lama ingin aku tanyakan padamu."
Minsik menelan ludah, merasa jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Entah kenapa, ia merasa sesuatu yang buruk akan muncul dari percakapan ini. "Oke, apa yang ingin kamu tanyakan?"
Giselle mengamati Minsik sejenak, seolah menimbang-nimbang cara untuk mengutarakan pertanyaannya. "Waktu itu, semalam ketika aku mengantarmu pulang saat kamu mabuk. Siapa perempuan yang membuka pintu? Aku belum pernah melihat dia sebelumnya. Dan anehnya dia terlihat sangat akrab denganmu."
Minsik merasakan keringat dingin mulai membasahi punggungnya. Dia tahu topik ini akan muncul suatu saat, tetapi tidak menyangka akan datang secepat ini. Dia berusaha menenangkan dirinya, mengambil napas dalam sebelum berbicara. "Oh, itu, Itu Karina. Perempuan yang pernah aku ceritakan padamu."
Giselle menyipitkan mata, berusaha mengingat hingga sesuatu menyentaknya, "Oh! Maksudmu, dia perempuan yang pernah kamu tolong itu? "
Minsik mengangguk pelan, merasakan kegelisahan mulai merayap di dadanya. "Ya, dia yang itu. Dia juga sudah tinggal di rumahku selama beberapa minggu."
Ada keheningan sejenak. Giselle menatap Minsik, tampak memproses informasi itu. Setelah beberapa detik, dia menghela napas panjang, lalu menatap Minsik dengan sorot mata yang tak bisa disembunyikan—marah, kecewa, dan mungkin sedikit terluka.
"Kenapa kamu tidak pernah cerita sama aku tentang itu?" Giselle akhirnya bertanya, suaranya terdengar lebih tajam dari biasanya. "Kita sudah sahabatan lima tahun, Minsik. Lima tahun! Dan kamu menyembunyikan sesuatu sebesar ini dariku? Aku bahkan tidak tahu kalau ada orang lain yang tinggal di rumahmu."