I. Rangat Buhit

376 36 9
                                    

“Kalau kekeringan ini dibiarkan, kita akan mati.”

⠀⠀Hadirin senyap, menatap seorang tetua yang membuka diskusi. Cahaya obor menerangi wajah rentanya, sementara beliau meletakkan sebuah nampan di hadapan Raja Bius.

⠀⠀“Ini adalah hasil panen pertama dari Buhit Ginjang.”

⠀⠀Semua orang menjulurkan kepala lebih dekat, dan menghela napas bersamaan demi melihat sayur-mayur kering nan layu. Hanya sang Raja Bius yang tak mengubah raut wajah, melainkan beralih pada Raja Horja yang mewakili Buhit Tao.

⠀⠀“Tak bisa aku mempersembahkan apapun, karena nelayan kami kesulitan mendapat ikan,” tutur si Raja Horja tanpa menunggu ditanya, “semua yang didapat hanya cukup untuk makan keluarga masing-masing.”

⠀⠀Selanjutnya, tetua dari perwakilan daerah Rangat Buhit lain turut serta memperlihatkan hasil bumi mereka, meski tak satupun yang memuaskan. Setelah semua tetua sudah maju, hening kembali menyergap. Kalimat pembuka tadi terus bergema tanpa suara di kepala hadirin musyawarah malam ini—sebuah ancaman nyata bagi seluruh penduduk Rangat Buhit.

⠀⠀Ancaman yang sebenarnya tidak mengejutkan, karena sudah beberapa tahun terakhir Rangat Buhit dilanda fenomena aneh. Hujan tak kunjung turun hingga tanah pertanian selalu kering, tak peduli berapa banyak irigasi dibuat. Berbagai hama menggerigiti sayur dan buah yang selamat, menyisakan sedikit sekali untuk penanamnya. Jaring nelayan tak pernah mendapat ikan yang cukup, dan danau besar tempat mereka mencari penghidupan kini diisi ikan-ikan pemangsa yang tidak enak dikonsumsi. Rumput semakin sedikit, tak cukup untuk memberi makan ternak yang semakin kurus pula. Tahun ini adalah puncaknya, dengan begitu banyak tragedi gagal panen hingga kelaparan di seluruh penjuru.

⠀⠀“Terus-terusan memasok beras dari Anantadwipa bukanlah solusi yang tepat,” Raja Horja dari Buhit Jae berucap tiba-tiba.

⠀⠀“Betul. Harga mereka semakin tinggi, dan pundi-pundi emas kita tidak cukup.”

⠀⠀“Anantadwipa pasti sengaja, mencuri Permata Sitiur sehingga kita bergantung pada pangan yang mereka jual!”

⠀⠀“Tidak bisa dibiarkan! Jangan sampai kita terjebak dan menjadi kerajaan bawahan mereka berikutnya!”

⠀⠀“Tak sudi!”

⠀⠀Demi mendengar suasana yang semakin memanas, Raja Bius mengangkat sebelah tangan. “Tenang, semuanya. Kita tidak bisa melanjutkan diskusi ini jika semua dilalap emosi.”

⠀⠀“Tapi Permata Sitiur adalah kekuatan Rangat Buhit. Lihatlah apa yang terjadi tanpanya sekarang! Debata telah murka, rakyat kita kelaparan, semua karena orang-orang licik dari Anantadwipa.”

⠀⠀“Kita harus mengambil kembali Sitiur,” celetuk Raja Horja dari Buhit Ginjang, “itulah satu-satunya cara agar alam kembali seimbang.”

⠀⠀“Kami setuju,” ujar tetua Buhit Tao, para Raja Huta di belakangnya manggut-manggut. “Akan tetapi… bagaimanalah caranya? Anantadwipa adalah kerajaan besar. Pasukan mereka berjumlah ratusan ribu, dengan armada laut yang kuat. Hampir tak mungkin kita bisa melawan.”

⠀⠀“Tidak, kita tidak butuh ratusan ribu pasukan,” satu suara serak menggema dari sudut. Sedari tadi, suara itu sama sekali tak angkat bicara, namun kini perhatian seluruh peserta rapat tertuju kepadanya.

⠀⠀“Apalah yang kau maksud, Pamondur?” tanya si Raja Bius.

⠀⠀Orang yang dipanggil panglima itu beringsut maju, terang jingga dari obor menari-nari di mata. “Jangankan ribuan prajurit, dua saja tidak perlu. Lupakah raja-raja semua, bahwa Rangat Buhit punya Parbisuan?”

Midnight and the DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang