VII. Kutaraja

79 23 18
                                    

Sahat yakin baru saja melihat Sitiur dalam genggaman gadis yang tadi. Ia sudah berusaha mengikuti arah kaburnya, tetapi para prajurit sudah keburu merangsek ke keputren. Terpaksa, Sahat menyelinap keluar lewat jalan yang tadi dan kembali ke tempat ia menyimpan barang di seberang sungai.

⠀⠀Si Parbisu tak henti merutuki diri sendiri, menyesali reaksinya yang terlambat satu kedipan. Ada sedikit sesal karena tidak bersikeras mengejar, tapi dia sadar bahwa posisinya tak menguntungkan. Jika Sahat ketahuan berada di keraton ketika putri mahkota terbunuh, sudah pasti ia dan Rangat Buhit yang menjadi tertuduh.

⠀⠀Menyandang semua bawaan di bahu, Sahat memutuskan untuk kembali ke alun-alun. Berharap dapat menemukan gadis tadi di antara keramaian, sekaligus mempelajari keadaan.

⠀⠀Sayangnya, pesta rakyat telah berubah geger. Suara gending sudah berhenti, orang-orang berlarian kesana-kemari untuk saling menyampaikan kabar mengerikan. Beberapa prajurit terjun langsung ke tengah kerumunan, mencoba mengendalikan massa.

⠀⠀Sahat berusaha sejauh mungkin dari para prajurit, tapi matanya awas memindai sekeliling. Mencari-cari di antara sekian banyak manusia, menebak arah pergi gadis itu—yang ia yakini sebagai salah satu penari, karena mengenakan selendang merah.

⠀⠀Terlebih saat ia mendengar satu jagapuri berseru, “Cari nartaki yang kabur! Cari dia sampai dapat!”

⠀⠀Kalau pihak keraton lebih dulu menemukan si penari, usai sudah harapan Sahat untuk mendapatkan kembali Sitiur.

⠀⠀Entah karena nasib mujur atau bantuan debata, mata sang Parbisu menangkap kelebat merah di kejauhan. Mungkin berusaha menjauh dari alun-alun, dan menuju batas hutan. Apapun itu, Sahat tetap berlari ke arahnya.

⠀⠀“Di sana! Ada seorang penari menuju hutan Wanaphala!”

⠀⠀Sial, rupanya Sahat belum seberuntung itu. ditambahnya kecepatan, tak peduli walau harus menabrak warga biasa yang berada di jalurnya. Sesuai dugaan, si selendang merah menyelinap di antara dua pohon dan berusaha menghilang dalam bayang pepohonan.

⠀⠀Untungnya, jarak Sahat hanya beberapa napas lagi dari gadis itu. Meski sekeliling telah gelap, ia mengandalkan mata yang terlatih dan kersak belukar sebagai penunjuk arah.

⠀⠀“Ke sana! Ke sana!”

⠀⠀Ah, pengawal-pengawal sialan itu lagi. Sahat menoleh, menemukan titik-titik api dari obor yang dibawa oleh mereka. Para prajurit itu berpencar untuk mencari, dan salah satunya berada cukup dekat untuk menunjuk Sahat.

⠀⠀“Kau!”

⠀⠀Sang Parbisu mengumpat dalam hati, berlari semakin kencang. Ia hampir kehilangan jejak gadis selendang merah, dan si jagapuri malah mengejarnya pula. Sahat menajamkan pendengaran, mencari asal suara terengah-engah dari sekitar depan.

⠀⠀Di sana. Ia menghampiri, dan benar saja—cahaya tipis bulan menyeruak dari balik dedaunan, dan tatapan Sahat bertemu dengan sepasang mata lain. Mata yang membelalak oleh panik, tapi tak menghilangkan sedikitpun cantiknya. Mata yang baru beberapa saat lalu juga dilihat Sahat, dalam kamar sang putri mahkota.

⠀⠀Baru saja Sahat membuka mulut, derap langkah dari belakang menyela kata-katanya. Sang Parbisu berbalik, sudah siap kuda-kuda untuk mengeluarkan jurus. Disambutnya prajurit tadi dengan tendangan ke dagu, tidak terlalu kuat tapi cukup untuk mengejutkan lawan.

⠀⠀Prajurit itu terjajar ke belakang, namun segera maju dengan pedang di satu tangan. Sahat berkelit lihai, diuntungkan oleh kekagokan si prajurit yang masih harus memegang obor di tangan lain—walau tetap saja, namanya anggota jagapuri kerajaan memang lebih dari rata-rata.

Midnight and the DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang