XVI. Mara Balang

63 22 33
                                    

Untuk pertama kalinya, Sahat melihat bagian dalam rumah panjang itu.

⠀⠀Pintu utamanya hanya satu, dengan tangga yang dapat dilepas-pasang. Di dalam, ada satu ruangan besar tempat orang-orang berkumpul, pintu-pintu berderet pada satu sisi. Mungkin jumlahnya belasan bahkan puluhan, beberapa setengah terbuka untuk menunjukkan penghuni yang sedang mengintip keramaian. Pada sisi lain digantung tengkorak-tengkorak kepala manusia, bagai hiasan yang belum dipahami Sahat berfungsi untuk apa.

⠀⠀Sahat dibawa tepat ke kumpulan orang di tengah ruang panjang, di mana semua mata menatapnya. Tak hanya laki-laki, namun juga perempuan. Bahkan gadis pembawa makanan, Danum, turut hadir. Satu orang—pria yang juga memimpin penangkapan mereka tadi malam—duduk di atas kursi kayu dengan ekspresi tak bersahabat. Mungkin ia adalah kepala suku mereka, karena semua orang menatapnya dengan hormat. Seorang wanita bersimpuh di sebelah si kepala suku, satu-satunya yang berwajah pucat dan kuyu dari kumpulan itu.

⠀⠀Satu tangan kekar mendorong Sahat dari belakang, memaksanya bersimpuh tak jauh di depan sang kepala suku. Antara ia dan sang pemimpin telah berjejer semua barang yang ia bawa—ditata satu-persatu dengan rapi. Piso, busur dan anak panah, pinggan pasu, hassung bambu, ulos yang terlipat rapi, bahkan jarik serta perhiasan Arum.

⠀⠀Jemari Sahat terkepal, menahan diri untuk tidak memanggil piso. Hal yang seharusnya bisa ia lakukan sejak tadi malam, namun Sahat menahan diri. Sesuatu tentang desa ini, tentang orang-orangnya, terasa mengusik.

⠀⠀“Kau pemuda Buhit,” kepala suku berbicara dalam bahasa ibu Sahat, memegang seuntai kalung di satu tangan—kalung berbandul kayu dari Datu Bolon. “Siapa namamu?”

⠀⠀Ujung tumpul tombak menyodok iganya, memaksa ia menjawab, “Sahat.”

⠀⠀“Kau bukan pemuda Buhit biasa, benar?”

⠀⠀“Aku tetap pemuda biasa,” buru-buru yang ditanya menjawab, “yang menanggung nasib seluruh tanah kelahiran di punggungnya.”

⠀⠀“Tahukah kau di mana engkau berpijak sekarang?”

⠀⠀“Tidak tahu. Bangsaku menyebut wilayah ini hujung tano.”

⠀⠀“Dengarkan baik-baik, anak muda.” Sang pemimpin sedikit bungkuk, meletakkan kalung Sahat bersama barang lainnya. “Kau berada di wilayah Serunai, dalam desa Mara Balang yang telah puluhan tahun kupimpin. Dan selama puluhan tahun, tak sekalipun orang Buhit menapakkan sebelah saja kakinya pada batas wilayah kami.”

⠀⠀“Kami orang Buhit menjunjung hukum ulayat, Yang Terhormat.”

⠀⠀“Kau bisa memanggilku Apai Djata, seperti yang lain.”

⠀⠀Terbata sang Parbisu mengulang sapaan itu, meski ekspresi tuan rumahnya masih tak bersahabat.

⠀⠀“Jika kalian memang menghargai hukum ulayat, lalu apa yang kau lakukan di sini?”

⠀⠀Akhirnya, mau tak mau, suka tak suka, Sahat bercerita. Tak lengkap memang, karena beberapa bagian sengaja ia luput—misalnya tentang Permata Sitiur. Ia mengaku hanya sedang membantu Arum, melarikan perempuan itu dari kejaran prajurit Ananta. Bahwa Arum yang sedang dititipi kunci kesejahteraan Rangat Buhit, dan Sahat tak ingin merebut paksa.

⠀⠀Sang kepala suku mendengarkan lekat-lekat, dan baru bicara ketika Sahat selesai,

⠀⠀“Kami memang tertutup, namun bukan berarti aku tak tahu dunia luar. Sudah sampai ke telingaku, tentang ratna ajaib milik Rangat Buhit yang dicuri. Begitu juga tentang pasukan Parbisuan, yang seharusnya menjaga benda tersebut namun gagal. Dan kini, salah satunya diperintah untuk memperbaiki kesalahan mereka.”

Midnight and the DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang