XIII. Selat Sangkata

109 21 25
                                    

Berdiri di hadapan mereka, seorang laki-laki muda yang… tidak bisa dikatakan tampan, tapi untuk dibilang buruk rupa pun Arum tak tega.

⠀⠀Perawakannya kurus pendek dan kalau ia tersenyum tampak beberapa gigi sudah hilang. Yang aneh, dia juga membalurkan sesuatu berwarna cokelat di wajah dan dada, sekilas macam lumpur kering dan berbau tak sedap.

⠀⠀“Kau Citraksi?” tanya Sahat, bangkit berdiri.

⠀⠀”Tentu saja,” yang ditanya menjawab riang, “Citraksi datang karena dipanggil. Citraksi menyeberangkan karena diminta. Kita bisa berangkat sekarang!”

⠀⠀Sahat dan Arum saling lirik. Mereka belum mengatakan apa-apa, tapi pemuda asing ini sudah tahu niat mereka. Antara mencurigakan, atau memang terbiasa.

⠀⠀Bagaimanapun, Sahat meraih busur dan menyandang barang-barangnya kembali. “Dengan apa kita berangkat?”

⠀⠀“Tentu saja perahu. Citraksi punya perahu, ada di sana.”

⠀⠀Meski langit telah menampilkan lembayung dan bayang-bayang sekitar makin gelap, Citraksi tak butuh penerangan. Ia berjalan dengan yakin, menyusur pantai hingga mereka menemukan satu perahu tertambat di pohon.

⠀⠀Sekilas pandang, bentuk perahu itu seperti jukung pada umumnya. Akan tetapi, polos saja tanpa ada cadik maupun tiang layar.

⠀⠀“Tunggu sebentar,” Sahat mengangkat telapak, “kau yakin kita bisa menyeberang selat dengan perahu sungai?”

⠀⠀“Citraksi sudah berkali-kali menyeberang selat. Perahu Citraksi bagus.”

⠀⠀Kemudian, pemandu mereka sibuk sendiri menyiapkan perjalanan. Menyalakan blencong yang digantung pada haluan serta buritan, lalu memotong tali tambat begitu saja dengan parang.

⠀⠀Arum dipersilahkan naik lebih dulu, sementara kedua lelaki mendorong perahu masuk ke air. Barulah mereka melompat naik, masing-masing memegang dayung.

⠀⠀“Kita sudah berlayar!” Citraksi mengumumkan dari tempat duduknya di haluan, “Den Bagus dayung sesuai petunjuk Citraksi.”

⠀⠀“Kau saja belum memberi petunjuk apa-apa,” gerutu Sahat, “kita juga belum membicarakan bayaran.”

⠀⠀Pemandu mereka tersenyum lebar, menampakkan gigi-geligi tak lengkap. “Bayaran Citraksi tidak mahal. Cukup keping emas atau satu kecupan dari Den Ayu yang cantik.”

⠀⠀Refleks, Arum beringsut sejauh mungkin dari pemuda kurus itu. Dia tidak berniat jahat, sungguh. Tapi bau aneh dari substansi entah apa yang terbalur pada tubuh Citraksi, ditambah kalimat tak kalah aneh, sukses membuat Arum ingin muntah.

⠀⠀Untunglah, Sahat membela dari balik bahunya. “Jangan coba-coba kurang ajar pada temanku.”

⠀⠀“Bercanda, Citraksi hanya bercanda. Ayo Den Bagus, dayung harus lebih kuat.”

⠀⠀Meski sempat khawatir, ternyata ombak laut tidak sebesar yang Arum kira. Mungkin karena ini selat sempit, bukan laut lepas. Tetap saja, tidak satu-dua kali ombak yang mereka terjang cukup besar hingga kapal bergoyang dan Arum mencengkeram tepinya agar tidak terlempar. Meski laut di luar kubah cahaya lampu minyak sehitam tinta, lagi-lagi Citraksi dapat menavigasi dengan baik.

⠀⠀Namun, sesuatu mengusik Arum. Jemarinya tak henti mengelus Sitiur di balik jarik, yang entah kenapa terasa berdenyut hangat bak memiliki jantung. Semakin jauh mereka berlayar, semakin kuat denyut itu, seolah baru terbangun dari lelap panjang. Tapi, tak ada yang teraba inderanya selain permukaan kristal.

⠀⠀Entah berapa lama mereka terombang-ambing, sampai Arum melihat bayang-bayang batu karang besar di kanan-kiri.

⠀⠀“Hati-hati,” Citraksi memperingatkan, “Den Bagus dengarkan Citraksi.”

Midnight and the DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang