II. Anantadwipa

139 26 11
                                    

Bagi Arum, tari adalah sihir—dalam arti yang sebenar-benarnya.

⠀⠀Ia membawa ujung selendang ke kiri, sementara tangan kanan meliuk sesuai denting gamelan. Kaki melangkah kecil-kecil, berjalan serempak dengan tiga penari lainnya. Mereka membentuk lingkaran, mengelilingi seorang bayi perempuan yang dibaringkan di tengah mandapa. Asap dupa menjadi selimut, menguarkan aroma menyan dan kembang lima rupa.

⠀⠀Dengan setiap langkah, Arum dapat merasakan kehadiran Bathari Sri, sang dewi padi dan kehidupan. Energi sihir darinya bagaikan mata air yang muncul dari dada, untuk kemudian mengalir ke luar dan bertemu aliran dari penari-penari lain. Hingga akhirnya energi yang terkumpul sudah cukup banyak, dan binar keemasannya kasat mata di udara.

⠀⠀Menggunakan gerak tari, para penari menghilirkan energi sang Bathari untuk si bayi. Menyeimbangkan kembali unsur-unsur di dalam dirinya, menghapuskan rasa sakit yang telah lama menjadi momok.

⠀⠀Suara gamelan semakin sayup, isyarat bahwa rangkai tarian mereka akan segera selesai. Arum melirik ke samping, memastikan tangis si bayi sudah tak lagi terdengar. Tepat di ketukan terakhir, dan para penari kompak menutup gerakan dengan mempertemukan telapak di depan dada.

⠀⠀Tidak ada tepuk tangan, hanya suara tarikan napas yang sedari tadi ditahan. Disusul bunyi langkah berdebum seorang perempuan menghampiri bayinya. Tak sampai beberapa kerjap, terdengar pecah tangis bahagia setelah sadar anak semata wayangnya kini sembuh, tak lagi dirongrong penyakit demam berkepanjangan.

⠀⠀Arum dan kawan-kawan bergerak mundur, memberi privasi untuk sang ibu. Bhre Sidayu—pejabat yang memanggil mereka untuk ritual ini—menghampiri dengan setitik air mata haru di pelupuk matanya.

⠀⠀“Terima kasih, wahai para penari suci. Kalian menyembuhkan cucuku.”

⠀⠀“Sang Bathari Sri yang melakukannya, Raden. Kami hanya perantara,” jawab Arum sambil menghormat singkat.

⠀⠀“Perantara pun penting jasanya,” Bhre Sidayu mengeluarkan kantong kulit kecil berisi emas dari sela lipatan kainnya, “tolong terimalah sedikit tanda terima kasih dari keluargaku.”

⠀⠀Salah satu kawan Arum—Ratih—cepat-cepat menolak. “Mohon ampun Raden, kami penari natyawitra tidak diperbolehkan menerima pemberian. Jika Raden berkenan, tanda terima kasih ini baiknya disumbangkan untuk pura suci keagamaan.”

⠀⠀Akhirnya, setelah saling bujuk selama beberapa waktu, Bhre Sidayu mengalah. Disimpannya kantong kulit itu, lalu ia perintahkan beberapa abdi untuk mengantar para natyawitra ke pintu gerbang Puri Sidayu. Di sana, kereta kuda sudah menunggu untuk memulangkan para penari ke keputren.

⠀⠀Pak kusir membantu gadis-gadis itu naik, sebelum memanjat ke tempatnya sendiri. Arum duduk bersama Ratih, sementara Laras dan Gendis di hadapannya. Tak lama kemudian, roda-roda kereta bergulir di jalan tanah, membawa mereka menjauh dari Puri Sidayu.

⠀⠀Iseng, Arum menyibak tirai sutera yang menutupi jendela, dan mengintip keluar. Tembok puri menjulang tinggi, terbuat dari batu bata merah seperti umumnya bangunan di Kutaraja Anantadwipa. Tiang-tiangnya dipenuhi ukir-ukir, begitu pula gerbang dan bastion sudut.

⠀⠀Padahal puri itu hanyalah kediaman sementara Bhre Sidayu jika sedang bertugas di Kutaraja. Pada hari-hari biasa, sang Bhre memerintah di Sidayu, kerajaan kecil bawahan Anantadwipa.

⠀⠀Kereta berbelok, meninggalkan Puri Sidayu jauh di belakang. Kini, mereka melintasi jalan utama Kutaraja yang ramai. Gerobak serta cikar mengangkut barang dari dan ke pasar, orang-orang berlalu-lalang melintasi gapura raksasa yang berfungsi sebagai pintu masuk.

Midnight and the DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang