VIII. Wanaphala

95 21 24
                                    

Arum tidak percaya dengan laki-laki bernama Sahat itu.

⠀⠀Tapi, bagaimanapun juga, dia benar. Kalau Arum nekat berjalan sendiri, mungkin dia hanya akan menjadi mangsa binatang liar. Belum lagi ancaman makhluk-makhluk raksasa—Anantajana biasa menyebutnya butakala—yang dikabarkan masih tersisa di sudut-sudut tergelap hutan Wanaphala.

⠀⠀Jadilah, meski sambil merutuk, Arum mencari posisi yang menurutnya paling aman di antara dahan beringin. Ia menyelipkan permata sang putri pada sampur, mencuri lirikan pada Sahat yang masih terpejam di posisinya sedari tadi.

⠀⠀Dari cara tidurnya saja, Sahat tidak seperti manusia biasa. Dia terlalu kaku, terlalu awas. Arum yakin, kalau ia bersuara sedikit saja, pria itu pasti akan terjaga.

⠀⠀Arum menghela napas, menyandarkan kepala pada dahan. Tiba-tiba saja, semua yang terjadi hari ini kembali memberati. Baru tadi siang ia menari di keraton, berpeluk sihir keemasan. Menatap wajah Wirasena dan Sridevi…

⠀⠀Ah, Sridevi. Isak kembali melompat dari sela bibir Arum, disusul gelombang tangis tak terbendung. Gadis itu telungkup, menyembunyikan wajah dalam lipat lengan. Membiarkan diri dibawa oleh kesedihan, hingga nanti fajar tiba.

⠀⠀Ketika pagi hari benar-benar datang, Sahat sudah kembali ke permukaan tanah. Masih dengan setengah terpejam, Arum melongokkan kepala dari balik dahan.

⠀⠀“Kau benar-benar tidak membunuhku semalam?”

⠀⠀Bibir laki-laki itu menipis, tapi ia menyahut tenang, “Cepat turun, kita harus menjauh lagi dari Kutaraja.”

⠀⠀Arum mengukur jarak antara dahan dan lantai hutan. “Bagaimana cara turunnya?”

⠀⠀“Lompat saja. Aku akan menangkapmu.”

⠀⠀“Yang benar saja!” suara Arum meninggi, “pengawal istana pun tidak boleh menyentuhku sembarangan!”

⠀⠀Santai, Sahat mencangklong barang bawaan ke bahu. “Kau mau tinggal seterusnya di sana? Tidak masalah.”

⠀⠀Tentu saja tidak mau. Dengan bibir tertekuk ke bawah, Arum membetulkan kain jarik serapi yang ia bisa dan beringsut lebih dekat ke tepi. “Baiklah. Tapi awas saja kalau aku sampai jatuh!”

⠀⠀Sahat meletakkan barang-barang kembali, lalu merentangkan tangan. “Cepat.”

⠀⠀Berusaha tak banyak berpikir, Arum melangkah ke udara. Satu kejap ia melayang, sebelum terhempas pada sepasang lengan. Mungkin tak segagah pangeran, tapi tetap saja tak biasa untuk Arum si gadis keraton.

⠀⠀Belum sempat merasakan apapun, kakinya sudah menapak tanah. Arum mengangkat pandangan, baru benar-benar melihat pria aneh itu dari jarak dekat.

⠀⠀Tidak, tentu saja dia tidak setampan Wirasena. Rambutnya pendek, mencuat dari sela ikat kepala. Meski mengenakan baju dan celana longgar serba hitam, Arum tetap melihat kurusnya tubuh Sahat di balik itu semua. Memang berotot, tapi ramping dan liat. Gelang triwarna melingkari pergelangan, sabuk kain membebat pinggang di mana sarung senjata terselip. Gagangnya sama persis dengan parang yang tadi malam ditunjukkan Sahat, membuat Arum bertanya-tanya sudahkah bekas darah si pengawal dibersihkan dari bilahnya.

⠀⠀Sebelum berpikir yang aneh-aneh, Arum melangkah mundur sambil memeriksa lipatan sampur. Begitu tonjolan permata teraba olehnya, sang penari menghela napas lega.

⠀⠀Mata Sahat mengikuti gerakan itu, tapi tak berkomentar. Alih-alih, ia menyodorkan seruas bambu kecil yang dipotong rapi, lubangnya berisi air jernih. “Minum dulu. Kau pasti haus setelah menghabiskan banyak air mata tadi malam.”

Midnight and the DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang