Perjalanan dari Ujung Galuh ke Kutaraja Anantadwipa memakan waktu satu hari penuh.
⠀⠀Yang berarti, satu hari penuh pula Sahat terguncang-guncang di atas pedati yang Binsar sewa. Sesekali, ia akan duduk di samping kusir, atau berjalan kaki di sebelah gerobak. Pokoknya, bagaimanapun cara untuk menghindar dari celoteh Binsar yang tak kunjung habis.
⠀⠀Mereka sampai di wilayah luar Kutaraja saat malam telah lama turun. Sudah tak kuat lagi menahan pegal, akhirnya Binsar mencari penginapan terdekat tempat mereka dapat merebahkan diri.
⠀⠀Ketika Sahat bangun di esok paginya, Binsar baru saja masuk kembali ke bilik sambil menyeringai lebar.
⠀⠀“Ayo bangun, pemalas! Perayaan akan dimulai sebentar lagi.”
⠀⠀Masih dengan mata terpicing—belum sepenuhnya terjaga—Sahat menyahut, “Gentong-gentong tuakmu bagaimana?”
⠀⠀“Sudah kuantar ke pemesan. Aku jamin, nanti malam para prajurit itu akan sangat mabuk sampai tidak ingat nama mereka sendiri.”
⠀⠀Sahat menjawab dengan gumam tak jelas.
⠀⠀“Ayolah, cepat bangun!” seru Binsar gusar, “sana cuci muka dan tinggalkan ulos-mu kalau tidak mau terlihat mencolok. Tidak ada yang pakai ulos di sini.”
⠀⠀Dengan sedikit menggerutu, Sahat tetap memaksa tubuhnya untuk bangkit. Selelah apapun, dia masih punya tugas yang harus dilaksanakan.
⠀⠀Sesuai instruksi Binsar, Sahat mengganti ulos dengan sarung batik khas Anantadwipa. Kainnya terasa tipis, tapi Sahat tak punya pilihan lain. Ia menggulung dan mengikat tepi kain di pinggang, seperti yang ia lihat dilakukan orang-orang Ananta.
⠀⠀Sayang, Sahat akan tetap terlihat berbeda karena rambut yang dipotong pendek seperti umumnya laki-laki Buhit. Di Anantadwipa, para pria memiliki rambut panjang dan dibiarkan tergerai. Bahkan Binsar pun memanjangkan rambut, agar lebih membaur.
⠀⠀Bagaimanapun, dua orang Buhit itu tetap keluar dari penginapan dan berjalan searah dengan keramaian—tampaknya, hampir seluruh penduduk Kutaraja sedang menuju arah yang sama.
⠀⠀“Nah, gerbang ini akan membawa kita masuk ke wilayah dalam. Hanya orang kaya dan bangsawan yang bisa tinggal di sini,” Binsar menjelaskan.
⠀⠀Kepala Sahat harus mendongak untuk benar-benar melihat pucuk dari gapura itu saking tingginya. Terdiri dari dua bagian terpisah, lagi-lagi keseluruhannya bata merah. Bahkan begitu pula dengan dinding-dinding tebal di sisi kanan dan kiri, yang amat panjang sejauh mata memandang.
⠀⠀“Orang-orang Ananta gemar sekali membuat bangunan dari bata,” komentar Sahat.
⠀⠀“Di dalam ada lebih banyak lagi.” Binsar mengangkat bahu.
⠀⠀Mereka perlu mengantri selama beberapa saat untuk melewati gerbang, karena lalu-lalang manusia terlalu padat. Dalamnya ternyata mirip-mirip dengan wilayah luar, tetap sebuah kota. Bedanya, kota yang ini jauh lebih bersih dan tertata. Beberapa prajurit berjaga di sudut, mata awas memperhatikan kerumunan.
⠀⠀Mereka melewati kolam besar yang Binsar sebut segaran, kemudian sebuah pasar. Memang lebih rapi daripada pasar di Ujung Galuh, tapi yang namanya pasar pasti tetap bau. Sahat mengerutkan hidung tepat saat terdengar seruan dari balik bahu,
⠀⠀“Beri jalan untuk Pangeran Wirasena!”
⠀⠀Sahat melompat ke kanan, hampir saja tergilas derap kuda kavaleri. Binatang-binatang gagah itu tinggi menjulang, surai berkilat di bawah cahaya matahari. Di atas mereka duduk para prajurit yang sama gagah, mengenakan baju dari rantai dan membawa tombak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight and the Dawn
FantasySeorang pencuri, memanggul seluruh masa depan rakyat di punggungnya. Seorang penari, dianggap membunuh putri mahkota. Sejak permata bertuah hilang, Rangat Buhit dilanda kekeringan. Tugas Sahat adalah mengambil kembali Sitiur, yang ditatahkan pada ma...