VI. Kutaraja

66 17 6
                                    

Sepertinya, membawakan surat untuk Wirasena adalah kesalahan. Sejak pertemuan mereka di ksatriyan, Arum tak merasa tenang.

⠀⠀Mestinya, waktu gadis itu habis untuk mengikuti setiap langkah acara penyucian. Banyak sekali tari-tarian yang harus ia tuntaskan, demi kelancaran acara hingga keselamatan calon pengantin. Mestinya, tak akan ada masalah berarti andai saja sang pangeran tidak selalu muncul di sudut matanya. Tapi hidup memang tidak adil, kan?

⠀⠀Karena wajah itu tak pernah hilang dari benak si gadis penari. Menggayut dengan keras kepala, saat sendiri maupun ramai. Membagi konsentrasi Arum antara gerak tari dan memarahi diri sendiri agar berhenti mengingat-ingat Wirasena.

⠀⠀Mengingat bagaimana lengan-lengan sang pangeran menahannya agar tak jatuh, bagaimana pria itu ikut merendahkan diri saat Arum bersimpuh di tanah.

⠀⠀Kurasa bukan hanya Sridevi yang pantas disebut sekar kedhaton. Apa sebenarnya maksud kalimat itu?

⠀⠀Hampir saja Arum kehilangan satu ketukan. Cepat-cepat ia menyusul teman-teman yang lain, bergeser sedikit demi sedikit untuk merubah formasi. Melempar ujung selendang ke atas, badan condong ke samping tanpa meliukkan pinggang. Tangan kanan ikut terangkat sejajar dahi dalam gerak ukel nan luwes. Di ketukan berikut, kaki kirinya menendang samparan ke belakang.

⠀⠀Saat mata Arum melirik, sengaja tak sengaja matanya tertuju pada kedua calon winarang yang didudukkan berdekatan tapi tak cukup dekat untuk saling sentuh. Meskipun masih setengah basah setelah tadi melewati prosesi siraman, Wirasena dan Sridevi terlihat sama-sama memesona.

⠀⠀Tidak adil, benar-benar tidak adil, tak henti Arum mengutuk dalam hati. Bisa-bisanya dia bercokol di kepalaku saat akan menikah dengan perempuan lain.

⠀⠀Denting gamelan semakin jarang, dan para penari menyatukan telapak di dada. Merendahkan diri di hadapan kedua mempelai, hingga lutut menyentuh permukaan panggung. Setelah musik berakhir sepenuhnya, mereka kembali berdiri dan membentuk satu barisan. Satu-persatu turun dari panggung diiringi tepuk tangan rakyat yang menonton di bawah.

⠀⠀Sebelum benar-benar meninggalkan panggung, Arum menoleh untuk terakhir kalinya. Pada Wirasena dan Sridevi yang masih berseri keemasan—sisa-sisa dari kekuatan magis para penari barusan. Sihir sekaligus berkat dari Bathari Sri, yang akan menjaga calon winarang hingga bersatu.

⠀⠀Tapi ingin sekali Arum mengadu pada Kanjeng Dewi Sri yang ia puja, betapa dadanya terasa nyeri. Betapa sesungguhnya ia tak rela mempersembahkan tarian tadi walau demi kebahagiaan putri mahkotanya…

⠀⠀Sekonyong-konyong, hal lain berdesir di dalam gadis itu. Seolah ada sesuatu yang ditarik lepas, menguap begitu saja. Arum terkesiap kecil, memegangi dada sambil celingukan. Penari lainnya tidak tampak terganggu, asyik bersenda gurau.

⠀⠀Merasa aneh sendiri, entah kenapa Arum terdorong untuk berbalik sekali lagi. Memperhatikan dua sejoli di atas sana—dan tangan Arum cepat-cepat menutup mulut agar tak berseru kaget.

⠀⠀Sihirnya hilang!

⠀⠀Kepala Arum semakin liar celingak-celinguk, tapi sepertinya tak ada yang sadar selain ia. Tidak mengerti apa yang terjadi, tergopoh-gopoh dia berjalan menjauh. Jauh dari panggung, jauh dari alun-alun, bahkan jauh dari rekan-rekan natyawitra-nya.

⠀⠀Gadis itu terus berlari hingga sampai ke halaman belakang keputren, tempat pura kecil untuk Bathari Sri berdiri. Bunga-bunga persembahan para penari masih segar tergeletak di altar, tangkai dupa mengepulkan asap tipis.

⠀⠀“Maafkan hamba, Kanjeng Dewi. Sungguh hamba tidak berniat buruk,” bisik Arum putus asa.

⠀⠀Tentu saja, tak ada jawaban. Sang penari menyandarkan kening pada batu pura, sesal mulai terbit di hati. Entah bagaimana cara memperbaiki kesalahan semacam ini.

Midnight and the DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang