⠀⠀“Aku merasa ada yang aneh dari istri Apai Djata,” bisik Arum pada Sahat.
⠀⠀Mereka berdua sudah kembali dimasukkan dalam jeruji, makanan yang tadi dibawa Danum entah ke mana. Tangan Arum sudah kembali diikat, mesti tak sekuat sebelumnya. Satu pendekar ditugaskan menjaga tak jauh dari sana, duduk bersandar pada salah satu tiang pondasi.
⠀⠀“Memangnya ada apa?” Sahat balas berbisik.
⠀⠀“Entahlah… aku juga tidak bisa menjelaskan. Ini pertama kali aku merasa seperti itu saat menyembuhkan seseorang.”
⠀⠀“Jangan terlalu dipikirkan.”
⠀⠀Seandainya saja bisa. Padahal sudah belasan warsa Arum menjadi natyawitra, tapi yang terjadi akhir-akhir ini sungguh asing untuknya. Mulai dari kejadian aneh di acara Putri Sridevi dan Wirasena, sampai yang barusan ini.
⠀⠀“Sahat, aku lapar,” keluhnya lemah.
⠀⠀Pria di sebelahnya tak langsung menyahut, mungkin sedang menyusun kesabaran. Arum sudah membuka mulut lagi, tapi tak jadi karena satu pria pendekar datang mendekat.
⠀⠀“Kalian naik,” ucapnya patah-patah, membuka pintu penjara.
⠀⠀Si penjaga yang satu lagi menghampiri, ikut membantu. Bebatan tali pada pergelangan juga dilepas, membiarkan Arum serta Sahat bergerak atas keinginan sendiri.
⠀⠀“Ikut,” ulang si pria, mengedikkan dagu.
⠀⠀Kedua pelarian saling pandang, tapi menurut. Langkah mereka agak lebih ringan, walau masih ada sedikit was-was. Arum meniup-niup lecet di pergelangan, berharap perihnya agak reda.
⠀⠀Begitu mereka naik lagi ke atas rumah panjang, tempat musyawarah tadi sudah diubah menjadi perjamuan. Lauk demi lauk berbaris, dua kuali besar diletakkan di tengah. Wangi masakan enak meruap, memanjakan indera penciuman.
⠀⠀Iseng, Arum memanjangkan leher dan mengintip isi kuali dari balik bahu Sahat. Demi melihat tengkorak mungil di dalam sana, gadis itu menjerit,
⠀⠀“Bayi!”
⠀⠀Sang Parbisu berbalik, alisnya bertaut. “Bayi?”
⠀⠀“Mereka memasak bayi, Sahat! Lihat dalam kuali itu!”
⠀⠀“Kau yang lihat baik-baik, Arum. Itu monyet.”
⠀⠀“Hah?” Arum melongo.
⠀⠀“Betul, itu monyet,” Apai Djata angkat suara, masih duduk pada tempatnya, “masakan istimewa bagi kami di Mara Balang ini.”
⠀⠀“Oh,” suara sang penari turun jauh, “kukira.”
⠀⠀“Apakah kau akan menolak lagi, seperti tadi menolak makanan dari keponakanku?”
⠀⠀Arum melirik Danum sekilas, sebelum kembali pada Apai.
⠀⠀“Menurut kepercayaan kami, pantang hukumnya menolak tawaran makan,” lanjut sang kepala suku, “karena itu berarti kau tidak menghargai kami sebagai tuan rumah.”
⠀⠀Mulut Arum sudah hampir terbuka untuk menyangkal, tapi Sahat telah mendahuluinya.
⠀⠀“Tentu Apai yang terhormat paham bahwa kami harus senantiasa berhati-hati di tempat asing. Andai saja kami dibolehkan makan beralas pinggan milikku sendiri, tak akan ada kejadian menolak makanan lagi hari ini.”
⠀⠀Alis tebal Apai Djata terangkat, tapi beliau tetap mengedikkan dagu ke jejeran barang-barang Sahat di lantai. “Ambil.”
⠀⠀Mata masih tertuju pada kepala suku, sang Parbisu berjalan maju. Hati-hati langkahnya, bagai seekor harimau mengendap di belakang mangsa. Namun ‘mangsa’ pria itu hanyalah sebuah piring keramik berwarna hijau seladon, polos tanpa ragam hias. Meski begitu, Sahat tetap mengambilnya dengan perhatian lebih seolah sedang memegang perkakas keraton.
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight and the Dawn
FantasySeorang pencuri, memanggul seluruh masa depan rakyat di punggungnya. Seorang penari, dianggap membunuh putri mahkota. Sejak permata bertuah hilang, Rangat Buhit dilanda kekeringan. Tugas Sahat adalah mengambil kembali Sitiur, yang ditatahkan pada ma...