XIV. Hujung Tano

81 22 27
                                    

“Tidak, tidak!” Arum menepuk-nepuk pipi kawan perjalanannya, panik. “Bangun, Sahat!”

⠀⠀Sayang, tak ada pergerakan apapun dari si Parbisu. Remang mulai merayap ke tengkuk Arum, menyadari betapa tak berdaya ia. Berada di tanah asing, dalam hutan gelap gulita. Satu-satunya teman yang selalu diandalkan terbaring sekarat, entah bagaimana menyembuhkannya.

⠀⠀Dia hanyalah penari keraton, tak pernah merasa perlu belajar pengobatan. Toh sudah ada tabib istana, yang akan selalu datang setiap ada pesakitan.

⠀⠀Tapi… tunggu sebentar.

⠀⠀Arum terpaku pada selendang merah yang diikat pada lengan Sahat, teringat bahwa ia masih punya sesuatu.

⠀⠀Dengan tangan dan kaki gemetaran, Arum berusaha berdiri di atas jukung. Mengatupkan kedua telapak di depan dada, mata fokus pada blencong yang bergoyang pelan. Sama seperti di air terjun, suara alam menjadi gamelannya. Kersik daun, desir angin, suara-suara binatang nokturnal, bahkan bunyi halus buaya muara mencelup ke air. Degup Sitiur memberi tempo, menuntun sang penari untuk kembali melakukan apa yang seumur hidup telah ia lakukan.

⠀⠀Sihir penyembuhan harusnya dilakukan oleh empat orang atau lebih, tapi tak ada lagi pilihan. Walau harus menari tanpa sampur dan tanpa langkah, Arum tetap memberikan yang terbaik yang ia bisa. Dipanjatkannya doa, menunggu sensasi hangat bergumpal di dada. Seperti mengurai segulung benang emas, Arum menariknya keluar.

⠀⠀Seperti biasa, kekuatan itu mengalir di udara, tak kalah dari riak-riak ombak yang telah lewat. Pendarnya bak seribu kunang-kunang, bergerak mengikuti ukel tangan Arum. Gadis itu membelalak takjub sementara kekuatan magisnya berputar-putar, sebelum terpecah tiga.

⠀⠀Satu bagian meluncur ke tubuh Sahat, mengerubungi lukanya. Mungkin ikut masuk ke dalam, memburu racun Yuyu yang sudah menyebar. Satu bagian lagi terlontar ke sekeliling, sebelum hinggap pada tepi-tepi jukung dan mendorongnya maju.

⠀⠀Belum puas si gadis melongo, bagian ketiga membentuk pusaran dengan Arum di tengah, lalu terjun bebas ke pinggang sang penari. Arum terkesiap, menyadari bahwa denyut Sitiur semakin kuat, semakin hangat terasa. Cepat-cepat gadis itu mengeluarkannya, semakin bingung ketika melihat bahwa permata itu ikut berpendar.

⠀⠀Binar magis kini menjadikan Sitiur sebagai mata badai, berputar-putar tanpa henti. Tiap kali tuntas satu putaran, cahaya sang permata semakin kuat dan semakin kuat, bagai ledakan cahaya yang memaksa mata Arum memejam.

⠀⠀Arum, sesuatu memanggil, Arum.

⠀⠀“S-s-siapa itu?” tergagap sang penari bertanya, masih tak berani membuka mata.

⠀⠀Kau penariku yang paling pemberani sekaligus penakut, terdengar nada geli.

⠀⠀Patah-patah, Arum mengangkat kelopak, sesaat merasa silau. Namun, setelah matanya menyesuaikan dalam cahaya terang, mulai muncul siluet satu sosok yang seharusnya Arum kenal.

⠀⠀Seorang wanita, mengenakan makuta yang jauh lebih indah dari mahkota trah Anantawardhana, lengkap dengan sumping serta perhiasan bangsawan. Rambut hitamnya tergerai bak selendang sutra, membingkai wajah cantik yang kelopaknya terpejam. Sebelah tangan dalam posisi ngruji di depan dada, sebelah lagi menggenggam sebatang padi yang telah menguning.

⠀⠀Sontak, Arum menekuk lutut hendak menyembah. “Kanjeng Dewi—”

⠀⠀Tidak perlu, sang Bathari Sri mengangkat telapak. Mulutnya tidak bergerak, tapi suaranya terdengar menggema, Telah kudengar permintaanmu, Nduk. Kawanmu akan baik-baik saja.

⠀⠀Benak Arum ingin melirik ke bawah untuk memeriksa keadaan Sahat, tapi bola matanya tak mau bergerak. Terpaku ia pada entitas yang mewujud di hadapan.

Midnight and the DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang