X. Wanaphala

90 23 23
                                    

Sebenarnya, pertanyaan Arum sudah terjawab tanpa perlu dijelaskan.

⠀⠀Gadis itu sudah tahu Sahat menyelinap masuk dan keluar keraton tanpa ketahuan, sudah melihat bagaimana ia melawan prajurit yang kemarin—ditambah butakala barusan. Sejak awal, Sahat sudah tahu sang penari memang pintar.

⠀⠀Karena itu, Sahat tak langsung menjawab. Ia kembali mengerjakan tupai, menambah kayu bakar ke api unggun, sementara malam mulai menyelimuti hutan.

⠀⠀Arum duduk di atas batu, memeluk lengan. Menunggu tupai matang sambil berdiam diri pula, hanya berdesis sesekali jika angin bertiup agak kencang. Jelas ia menggigil kedinginan, seluruh pakaiannya basah kuyup karena peristiwa tadi.

⠀⠀“Mendekatlah ke api,” tegur Sahat, “bisa-bisa kau sakit kalau terus kedinginan seperti itu.”

⠀⠀“Aku baik-baik saja,” Arum mengangkat dagu, sebelum bersin sekeras-kerasnya.

⠀⠀Sahat berdecak, menghampiri buntalan barang dan merogoh ke dalam. Ia mengeluarkan selembar kain lebar, lalu mengitari api unggun dan meletakkannya pada bahu Arum.

⠀⠀Bibir gadis itu tertekuk, meski tak menolak. Alih-alih, ditariknya tepi-tepi ulos lebih erat. “Terima kasih.”

⠀⠀Si Parbisu hanya melirik, berjongkok di posisi sebelumnya. “Cobalah untuk tidak keras kepala, Oto.”

⠀⠀“Apa itu artinya?”

⠀⠀“Bodoh.” Sahat menyeringai.

⠀⠀Kontan, Arum tambah bersungut-sungut. “Kau benar-benar menyebalkan!”

⠀⠀Sahat membiarkan Arum bersama kesalnya, menyibukkan diri dengan daging tupai yang terlihat sudah matang. Satu tusuk ia berikan pada gadis cerewet itu, satu lagi untuk dirinya sendiri.

⠀⠀“Mauliate,” sela Sahat saat sang penari hampir membuka mulut, “artinya terima kasih, dalam bahasa Buhit.”

⠀⠀“Maw-li-ate,” Arum membeo sebisanya. Sambil menggerigiti daging tupai, sepertinya rasa penasaran gadis itu mulai bekerja. “Bahasa Anantadwipa dan Buhit berbeda sekali. Bagaimana bisa kau bicara bahasa kami dengan begitu fasih?”

⠀⠀Sahat menelan daging di mulut sebelum menjawab, “Karena kebutuhan. Kau kan sudah tahu kalau aku bukan sekedar pencuri.”

⠀⠀“Aku tidak tahu, aku hanya menebak. Kau juga belum mengiyakan.”

⠀⠀“Mana ada pencuri biasa yang berani masuk ke istana kerajaan lain, Arum?”

⠀⠀Si penari mengedikkan bahu. “Itu juga yang kupikirkan.”

⠀⠀Sahat menghela napas, menyerah juga. Pada akhirnya, dia akan terjebak entah selama berapa hari dengan gadis ini. Dan kalau dia ingin mendapatkan Sitiur tanpa kekerasan, Sahat harus membangun kepercayaan Arum. Langkah pertama, adalah dengan berkata jujur.

⠀⠀“Di Rangat Buhit, ada satu kelompok prajurit yang memang dilatih untuk bergerak dalam senyap. Mereka lihai bela diri sampai membuat racun. Membunuh, mencuri… apapun yang dibutuhkan negeri Buhit, semua dilakukan diam-diam, tanpa suara. Tanpa bukti. Nama prajurit-prajurit ini adalah Parbisuan.”

⠀⠀“Dan kau adalah salah satunya.” Mata Arum berkilat, seolah menantang untuk disanggah.

⠀⠀Tentu saja, Sahat mengangguk. “Aku diutus untuk mengambil kembali Sitiur, atas alasan yang sudah kuceritakan sebelumnya.”

⠀⠀Untuk kesekian kali, Arum memegangi satu titik pada selendang yang melilit pinggang. Kalau dia sedang berlatih menjadi Parbisuan, Amang Ronggur pasti sudah memaki. Bisa-bisanya menunjukkan tempat penyimpanan benda penting semudah itu?

Midnight and the DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang