XI. Janggala

101 23 16
                                    

Sang penari bahkan belum sempat mengucap terima kasih atas tumpangannya, tapi lagi-lagi mereka sudah berdebat. Arum bersikeras mencari desa terdekat untuk menumpang makan dan istirahat, tapi Sahat yakin mereka harus tetap bersembunyi.

⠀⠀“Ayolah, Sahaaat!” gadis itu setengah merengek, “aku lapar, dan aku ingin makan sesuatu yang berbumbu. Tidak mau tupai bakar lagi!”

⠀⠀“Aku mengerti, sungguh.” Rahang Sahat mengetat. “Tapi ingatlah siapa dirimu sekarang, Oto. Dengan penampilan seperti ini, hanya melihat saja semua sudah tahu kau bukan penari biasa. Dan satu-satunya penari natyawitra yang sekarang berada di luar istana, adalah buronan.”

⠀⠀Arum menekuk bibir. Seperti biasa, memang sulit mendebat Sahat. Akhirnya, gadis itu hanya terdiam, sesekali menyeka air mata yang ngotot mengalir meski ditahan-tahan.

⠀⠀“Kita—” Sahat menoleh untuk mengucapkan sesuatu, tapi dibatalkannya demi melihat tangis itu. “Sudahlah, Arum. Aku janji kau akan makan sesuatu yang berbumbu, tapi kita harus lebih dulu menemukan tempat aman.”

⠀⠀Tak punya tenaga untuk melawan, Arum hanya mengangguk.

⠀⠀Mereka sudah cukup jauh dari perkebunan, pohon-pohon semakin rapat dan menjulang. Sebuah pohon ara berdiri tegak, celah di akar-akar tingginya membentuk semacam goa kecil. Tidak bisa dikatakan nyaman, tapi lebih baik daripada tak ada sama sekali.

⠀⠀“Kau tunggu di sini,” Sahat mengambil piso, memotong sebagian akar untuk memberi lebih banyak ruang, “aku akan ke desa untuk mencari informasi.”

⠀⠀“Dan aku ditinggal sendiri?” Mata Arum melebar. “Bagaimana kalau kau tersesat?”

⠀⠀“Parbisuan dilatih untuk menghafal arah, Oto,” jawab Sahat, sekilas mencuri pandang ke atas, “lagipula, teman ularmu masih setia di sana.”

⠀⠀“Benarkah?” Sang penari mendongak setinggi mungkin, pada seekor ular sanca kembang yang bergelung di salah satu akar. “Oh, kau benar. Itu ular yang tadi!“

⠀⠀Sahat mengangguk. “Ingat, kalau ada orang datang, gerai rambutmu dan bernyanyilah seseram mungkin.”

⠀⠀Si gadis penari melotot. “Kau pikir aku demit!?”

⠀⠀Sudut-sudut bibir Sahat berkedut, lagi-lagi menahan geli. “Sesuai janji, aku juga akan membelikanmu makanan berbumbu di pasar.”

⠀⠀“Memangnya kau punya uang?” Arum mengerjap bingung.

⠀⠀“Tentu tidak, tapi kan aku bisa menjual salah satu perhiasan emasmu.”

⠀⠀Sahat meninggalkan Arum dan sisa barang di bawah pohon ara, hanya membawa piso dan sebelah gelang emas sang penari. Kalau boleh jujur, ia yakin sebentar lagi sendi-sendinya akan rontok setelah menggendong gadis bawel itu mendaki lereng.

⠀⠀Arum memang menyebalkan kadang-kadang, tapi di satu sisi Sahat juga tak tega. Ia ingat bagaimana Arum menari di alun-alun, begitu anggun dan ningrat. Pasti tak pernah terbersit di benak gadis itu, bahwa ia akan berakhir di tengah hutan dengan perut kosong dan tubuh penuh luka.

⠀⠀Karena itulah, Sahat mendorong dirinya sendiri dengan sedikit paksaan, untuk mencapai perkebunan yang tadi mereka temui. Dari sana, sang Parbisu mengikuti jalan setapak, mengira akan menemukan desa kecil.

⠀⠀Ternyata, tidak. Alih-alih dusun berisi empat-lima rumah, setapak itu malah membawa Sahat ke desa yang cukup ramai—bahkan, hampir bisa disebut kota. Pedati lalu-lalang, berbagi jalan utama dengan kereta kuda. Ibu-ibu menyunggi keranjang anyam di kepala, mulut mengunyah sirih pinang. Beberapa pemuda berkumpul dengan membawa ayam, jelas untuk diadu. Anak-anak kecil bermain di lekuk jalan, ditemani anjing yang menyalak sambil ekor mengibas.

Midnight and the DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang