Sang penari bahkan belum sempat mengucap terima kasih atas tumpangannya, tapi lagi-lagi mereka sudah berdebat. Arum bersikeras mencari desa terdekat untuk menumpang makan dan istirahat, tapi Sahat yakin mereka harus tetap bersembunyi.
⠀⠀“Ayolah, Sahaaat!” gadis itu setengah merengek, “aku lapar, dan aku ingin makan sesuatu yang berbumbu. Tidak mau tupai bakar lagi!”
⠀⠀“Aku mengerti, sungguh.” Rahang Sahat mengetat. “Tapi ingatlah siapa dirimu sekarang, Oto. Dengan penampilan seperti ini, hanya melihat saja semua sudah tahu kau bukan penari biasa. Dan satu-satunya penari natyawitra yang sekarang berada di luar istana, adalah buronan.”
⠀⠀Arum menekuk bibir. Seperti biasa, memang sulit mendebat Sahat. Akhirnya, gadis itu hanya terdiam, sesekali menyeka air mata yang ngotot mengalir meski ditahan-tahan.
⠀⠀“Kita—” Sahat menoleh untuk mengucapkan sesuatu, tapi dibatalkannya demi melihat tangis itu. “Sudahlah, Arum. Aku janji kau akan makan sesuatu yang berbumbu, tapi kita harus lebih dulu menemukan tempat aman.”
⠀⠀Tak punya tenaga untuk melawan, Arum hanya mengangguk.
⠀⠀Mereka sudah cukup jauh dari perkebunan, pohon-pohon semakin rapat dan menjulang. Sebuah pohon ara berdiri tegak, celah di akar-akar tingginya membentuk semacam goa kecil. Tidak bisa dikatakan nyaman, tapi lebih baik daripada tak ada sama sekali.
⠀⠀“Kau tunggu di sini,” Sahat mengambil piso, memotong sebagian akar untuk memberi lebih banyak ruang, “aku akan ke desa untuk mencari informasi.”
⠀⠀“Dan aku ditinggal sendiri?” Mata Arum melebar. “Bagaimana kalau kau tersesat?”
⠀⠀“Parbisuan dilatih untuk menghafal arah, Oto,” jawab Sahat, sekilas mencuri pandang ke atas, “lagipula, teman ularmu masih setia di sana.”
⠀⠀“Benarkah?” Sang penari mendongak setinggi mungkin, pada seekor ular sanca kembang yang bergelung di salah satu akar. “Oh, kau benar. Itu ular yang tadi!“
⠀⠀Sahat mengangguk. “Ingat, kalau ada orang datang, gerai rambutmu dan bernyanyilah seseram mungkin.”
⠀⠀Si gadis penari melotot. “Kau pikir aku demit!?”
⠀⠀Sudut-sudut bibir Sahat berkedut, lagi-lagi menahan geli. “Sesuai janji, aku juga akan membelikanmu makanan berbumbu di pasar.”
⠀⠀“Memangnya kau punya uang?” Arum mengerjap bingung.
⠀⠀“Tentu tidak, tapi kan aku bisa menjual salah satu perhiasan emasmu.”
—
⠀⠀Sahat meninggalkan Arum dan sisa barang di bawah pohon ara, hanya membawa piso dan sebelah gelang emas sang penari. Kalau boleh jujur, ia yakin sebentar lagi sendi-sendinya akan rontok setelah menggendong gadis bawel itu mendaki lereng.
⠀⠀Arum memang menyebalkan kadang-kadang, tapi di satu sisi Sahat juga tak tega. Ia ingat bagaimana Arum menari di alun-alun, begitu anggun dan ningrat. Pasti tak pernah terbersit di benak gadis itu, bahwa ia akan berakhir di tengah hutan dengan perut kosong dan tubuh penuh luka.
⠀⠀Karena itulah, Sahat mendorong dirinya sendiri dengan sedikit paksaan, untuk mencapai perkebunan yang tadi mereka temui. Dari sana, sang Parbisu mengikuti jalan setapak, mengira akan menemukan desa kecil.
⠀⠀Ternyata, tidak. Alih-alih dusun berisi empat-lima rumah, setapak itu malah membawa Sahat ke desa yang cukup ramai—bahkan, hampir bisa disebut kota. Pedati lalu-lalang, berbagi jalan utama dengan kereta kuda. Ibu-ibu menyunggi keranjang anyam di kepala, mulut mengunyah sirih pinang. Beberapa pemuda berkumpul dengan membawa ayam, jelas untuk diadu. Anak-anak kecil bermain di lekuk jalan, ditemani anjing yang menyalak sambil ekor mengibas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight and the Dawn
FantasíaSeorang pencuri, memanggul seluruh masa depan rakyat di punggungnya. Seorang penari, dianggap membunuh putri mahkota. Sejak permata bertuah hilang, Rangat Buhit dilanda kekeringan. Tugas Sahat adalah mengambil kembali Sitiur, yang ditatahkan pada ma...