Lima, enam, tujuh—Sahat menghitung—delapan orang, mungkin lebih. Walau tangannya sigap menggenggam piso, Sahat tahu dia tidak akan sanggup melawan semua sekaligus. Apalagi, dengan kondisi bahu yang masih berdenyut nyeri setelah dipaksa mendayung.
⠀⠀Arum memekik tertahan, cepat-cepat bersembunyi di balik punggung Sahat. Bagaimana tidak, yang menyeramkan bukan hanya kilat senjata, namun juga orang-orang yang menghunus.
⠀⠀Mereka semua laki-laki, dengan pakaian dan cawat sederhana dari kulit kayu. Sepanjang lengan dan kaki mereka dihias tato gelap, kepala mengenakan semacam ikat berhias bulu-bulu panjang hitam putih—persis ekor burung yang memandu Arum dan Sahat tadi.
⠀⠀Selain berbagai senjata di satu tangan, orang-orang itu juga membawa perisai kayu panjang, berukir gambar-gambar makhluk menyeramkan.
⠀⠀Satu orang mengucapkan sesuatu dalam bahasa asing, sementara beberapa lainnya sigap menggunakan tombak serta bambu untuk menahan laju jukung. Sisa-sisa sihir Arum berhamburan, hilang bersama kelip kunang-kunang di tepi sungai.
⠀⠀Sahat meneriakkan sesuatu dalam bahasa Buhit, tapi perahu mereka tetap ditarik paksa menuju dermaga. Bahkan tidak perlu menunggu sampai jukung rapat bersandar untuk orang-orang itu melompat turun, membekuk kedua pelarian.
⠀⠀Arum menjerit-jerit, tangannya dicengkeram oleh seorang laki-laki dan ditarik ke belakang. Sahat berusaha melawan, namun percuma. Hanya dalam waktu singkat, si Parbisu dan si penari dinaikkan ke atas dermaga, dan didorong kuat-kuat sehingga tersungkur di hadapan pria yang pertama kali memberi perintah. Mungkin sang pria adalah pemimpin mereka, yang kini menatap kedua pelarian tanpa sedikitpun rasa iba.
⠀⠀Pada titik ini, Arum sudah menangis sesenggukan. Teringat cerita-cerita ngeri tentang suku asli hujung tano, tentang bagaimana tak ada orang yang selamat jika bertemu mereka.
⠀⠀Aku bahkan belum jauh dari Anantadwipa, bisik batinnya nelangsa, tapi pelarianku harus selesai sesingkat ini.
⠀⠀“Kau orang Buhit,” sang pemimpin tiba-tiba bicara dalam bahasa yang tak asing, “dan orang Ananta.”
⠀⠀Entah karena apa, ekspresi sang panglima berubah sedikit jijik demi melihat penampilan Arum. Sahat membuka mulut untuk bicara, tapi pendekar yang memeganginya berseru keras. Walau tidak paham, jelas bahwa itu sebuah peringatan.
⠀⠀“Kalian telah berani melangkahi tanah kami,” ucap sang pemimpin lagi, “kerusakan apa yang hendak kalian bawa?”
⠀⠀“Tidak ada, sungguh tidak ada,” Sahat menjawab, “kami tak punya maksud buruk apapun.”
⠀⠀“Membawa orang Ananta ke ulayat kami saja sudah menjadi kerusakan.”
⠀⠀“Ini jalur yang terpaksa kuambil.” Sahat sedikit tercekat, karena tekanan pria yang mengunci lengan-lengannya amat kuat. “Aku hanya menumpang lewat untuk pulang ke Rangat Buhit.”
⠀⠀“Kenapa tidak melewati Indragiri, seperti rekan-rekan sebangsamu yang lain!?”
⠀⠀“Untuk menghindari kejaran pasukan Anantadwipa.”
⠀⠀Sepertinya, pria itu masih belum puas dengan jawaban Sahat. “Kalaupun kau melarikan diri, mengapa bisa sampai ke sini? Kampung kami, Mara Balang, bukan berada di jalur sungai besar.”
⠀⠀“Burung,” kali ini Arum memberanikan diri angkat suara, “kami mengikuti burung berbulu hitam dan ekor putih.”
⠀⠀Mendengar itu, sang panglima tertegun. Matanya terangkat untuk menatap para prajurit, mengucapkan satu titah yang lagi-lagi berbahasa asing. Sontak, para bawahan memaksa Arum dan Sahat bangkit berdiri. Senjata sang Parbisu dilucuti, bahkan termasuk kalung yang ia kenakan. Baru setelah itu keduanya didorong lagi, kali ini untuk berjalan maju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Midnight and the Dawn
FantasySeorang pencuri, memanggul seluruh masa depan rakyat di punggungnya. Seorang penari, dianggap membunuh putri mahkota. Sejak permata bertuah hilang, Rangat Buhit dilanda kekeringan. Tugas Sahat adalah mengambil kembali Sitiur, yang ditatahkan pada ma...