III. Ujung Galuh

84 24 19
                                    

Melangkah keluar dari bilik tempat ia tidur semalam, Sahat mengerutkan hidung. Sepertinya ada tikus mati dekat-dekat sini.

⠀⠀Tapi, setelah baru kemarin sampai di bumi Anantadwipa, pria itu sudah tidak kaget. Di atas kapal, tepat sebelum kakinya menapak tanah, Sahat sudah mengosongkan seluruh isi perut ke laut. Seolah itu belum cukup sebagai sambutan selamat datang, renteng uangnya hampir saja dicopet bocah kecil di pelabuhan.

⠀⠀Setelah menyelamatkan keping-keping yang tak seberapa, Sahat masih harus mengarungi genangan air kotor penghias jalanan Ujung Galuh. Entah berapa kali tubuh kurusnya ditabrak berbagai macam manusia yang memadati kota—kuli angkut, syahbandar sok sibuk, hingga saudagar dari seluruh penjuru banua.

⠀⠀Saat itu, Sahat tak langsung mencari tempat singgah. Alih-alih, ia menuju pasar terdekat dari pelabuhan. Salah satu pelajaran terpenting dalam menjadi Parbisuan adalah tahu ke mana harus mencari sesama Parbisu. Maka, laki-laki itu mendatangi penjual ikan mas dan menitipkan secarik sobekan kain bertulis aksara Buhit. Barulah kemudian, laki-laki itu mencari penginapan termurah di sekitar pasar.

⠀⠀Keesokan harinya—hari ini—Sahat membungkus semua bawaan dan kembali ke si penjual ikan mas.

⠀⠀Saat melihat wajah pemuda itu, tanpa basa-basi si pedagang mengembalikan kain patandahon yang kemarin. “Antara pasar dan alun-alun ada warung tuak.”

⠀⠀Sahat mengangguk, menyelipkan kainnya ke balik ulos. Sudah tak sabar ia untuk minggat dari tempat ini—kenapa pula pasar di Anantadwipa baunya jauh lebih busuk daripada Rangat Buhit?

⠀⠀Mengikuti instruksi penjual ikan, Sahat berjalan kaki ke lapangan luas yang disebut orang Ananta sebagai alun-alun. Dari pelatihan yang sudah ia terima, Sahat tahu setiap kota Anantadwipa memiliki alun-alun sebagai pusat kegiatan penduduknya. Karena itu, tak mengherankan jika seorang Parbisu memilih lokasi dekat situ sebagai basis operasi.

⠀⠀Sesuai instruksi, tepat di simpang tiga antara pasar dan alun-alun terdapat sebuah pondok kecil berdinding anyaman bambu. Pada bagian depannya, orang-orang duduk di kursi kayu panjang sambil memegang gelas tanah liat. Salah satu dari mereka bahkan membawa ayam aduan, dielus-elus seperti anak kesayangan. Kendi-kendi berjajar di ambang jendela, memisahkan para peminum dengan penjual di dalam.

⠀⠀Sahat perlu sedikit merunduk untuk menghindari kepalanya terantuk kanopi—entah dia yang terlalu tinggi atau bangunannya memang rendah. Yang pasti, kehadiran pria itu cukup mencolok hingga menarik perhatian para pelanggan. Termasuk pemilik kedai, yang menyeringai lebar.

⠀⠀“Akhirnya datang juga!” ia setengah berseru, “duduklah, Kawan. Kau mau apa? Tuak? Ciu? Legen?”

⠀⠀“Tidak dulu untuk kali ini. Apakah kau Binsar?”

⠀⠀“Tak ada lagi Binsar di kota terkutuk ini selain aku. Tunggu sebentar.”

⠀⠀Detik berikutnya, Binsar sudah sibuk mengusir para peminum—termasuk dengan ayam-ayamnya. Hanya tersisa satu orang yang duduk tenang di ujung, menyesap minuman keras entah apa, sedikit demi sedikit.

⠀⠀Diam-diam, Sahat memperhatikan pria itu. Jelas dia bukan orang Dwipantara, kulitnya terlalu putih dan rambutnya terlalu merah. Jika diperhatikan lebih dekat, matanya berwarna kebiruan. Mungkin pedagang dari banua yang jauh.

⠀⠀Saat Binsar kembali menghampiri, Sahat berbisik, “Siapa orang itu?”

⠀⠀“Pelaut dari Hebra. Kapalnya sedang bersandar sebentar di Ujung Galuh sebelum melanjutkan perjalanan pulang.”

⠀⠀“Hebra? Jauh sekali.”

⠀⠀“Memang, tapi biarkan saja dia. Sini, sebaiknya kau masuk ke dalam.”

Midnight and the DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang