XII. Ramupura

85 21 25
                                    

Ada yang aneh pada Arum. Sejak nama Wirasena disebut, muram menghias wajah sang penari—dan tentu saja, itu tak luput dari perhatian Sahat.

⠀⠀Dengan sisa-sisa kepeng, si Parbisu menyewa pedati untuk membawa mereka ke Ramupura, kota yang berada tepat di tepi Selat Sangkata. Entah berapa lama kedua pelarian terguncang-guncang, duduk bersama dalam gerobak.

⠀⠀Sebagai upaya kamuflase, Arum terpaksa mengganti jarik keratonnya dengan kain batik biasa yang Sahat beli di pasar. Sampur merah telah ditanggalkan, tersimpan rapi dalam tas karung. Meskipun begitu, Permata Sitiur masih tersimpan rapi di pinggangnya, antara sela kain.

⠀⠀Di sisi satu lagi, Sahat duduk bersila sambil melipat lengan. Malas ia melihat ke depan—satu-satunya pemandangan adalah punggung terbuka pak kusir dan pantat dua ekor kerbau. Maka, Sahat memelototi bagian belakang gerobak yang juga terbuka, menghitung berapa banyak desa telah mereka lewati. Sedangkan, sisi benak yang lain masih memperhatikan sang penari.

⠀⠀Benar, ekspresi Arum semakin sendu. Memang ia tak mengatakan apa-apa, tapi entah mengapa Sahat merasa bisa menebak.

⠀⠀Roda pedati terantuk-antuk melindas jalan tanah, bersebelahan dengan petak-petak sawah yang baru dipanen. Tepat di tepi jalan, karung-karung penuh beras berjajar, teronggok begitu saja bahkan tercecer. Mirisnya dalam hati Sahat, mengingat betapa sulit petani Buhit mendapatkan barang segelintir beras.

⠀⠀“Kenapa berasnya dibiarkan di luar, Pak Kusir?” Arum mendului Sahat untuk bertanya.

⠀⠀“Oh, ini sudah biasa,” Pak Kusir santai menyesap rokok klobot di tangan, “keraton minta panen diperbanyak, setiap tahun sawah diperluas. Tapi harga belinya tidak sesuai dengan yang dimau para petani.”

⠀⠀Sepasang alis sang penari bertaut. “Tidak sesuai?”

⠀⠀“Terlalu murah, Den Ayu. Sebagai bentuk protes, mereka biarkan saja hasil panennya di tengah jalan. Mau bagaimana lagi? Kalau harga tidak naik, mereka tidak bisa makan.”

⠀⠀Tatapan kedua penumpang gerobak bertemu, sama-sama tak habis pikir.

⠀⠀Merendahkan suara, Arum berbisik, “Aku benar-benar tidak tahu.”

⠀⠀“Apa sih yang kau tahu, Oto?” yang diajak bicara malah menggoda, spontan lengannya mendapat hadiah tepukan keras dari seorang penari jengkel.

⠀⠀“Ini serius!”

⠀⠀“Olo, olo.” Sahat meringis. “Tapi apa yang bisa kau dan aku lakukan? Bukan kita yang punya kekuasaan.”

⠀⠀“Olo? Kau mengataiku lagi, ya?”

⠀⠀“Bukan. Itu bahasa Buhit yang artinya iya.”

⠀⠀Walau Sahat menjelaskan tanpa tendensi apapun, tetap saja Arum kesal sendiri. Ia melengos, menatap pemandangan miris di luar.

⠀⠀Ia paham, ini adalah dampak dari ambisi Maharani Gayatri untuk menguasai mancanegara. Berpolitik lewat bulir-bulir beras, tanpa peduli seperti apa keadaan masyarakatnya.

⠀⠀Apalagi, kalau mengingat cerita Sahat tentang kekeringan di Rangat Buhit. Untuk kesekian kali, tangan Arum mengelus Sitiur, kesekian kali pula pembicaraan para petinggi berputar di kepala. Betapa bangganya mereka, betapa yakinnya bahwa mereka melakukan hal yang benar.

⠀⠀Tapi, benar untuk siapa?

⠀⠀Ramupura adalah kota pelabuhan kecil, jauh lebih kecil dari Ujung Galuh. Walaupun begitu, tentu saja tak ada kata sepi dari kota tersebut—karena ia adalah tempat persinggahan kapal dari ujung timur sebelum lanjut menyusuri Selat Sangkata.

Midnight and the DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang