Part 21

517 64 3
                                    

"Apa yang ada di dalam otakmu sebenarnya? Sudah berkali-kali Mama beritahu jika detik ini kamu bisa jadi gembel di jalanan, tapi kenapa tidak sadar juga?" Dhea menatap marah pada putra semata wayang, aset yang dia punya.

Berkali-kali diingatkan, tapi Adel seperti menantang dirinya. Cowok itu tidak menuruti apa perintahnya, malah semakin membuatnya naik darah.

"Mama seperti lebih takut miskin daripada kehilangan anak," balas Adel bertanya pada ibunya yang sudah dibutakan oleh kemewahan.

"Try me, anak muda. Kamu terlalu naif, berpikir jika duit bapakmu bisa melakukan apa saja, di saat posisimu terancam kamu benar-benar akan jadi gembel di jalanan. Mau benar-benar jadi gembel?"

"Oh shit! Aku benci diatur-atur!" Cowok itu berdecak sebal. Hanya terduduk di atas ranjang, malas untuk menatap ibunya. Sedangkan dengan gaya bersedekap dada Dhea menatap putranya seperti ingin menghancurkan kepala otaknya untuk bisa bekerjasama, dan mereka tidak akan jadi gembel di jalanan karena posisinya di rumah ini tidak kuat.

"Kamu tau kan apa yang barusan Mama hadapi?"

"Hm!" sahut Adel malas. Mengeluarkan ponselnya dan scroll di galery ponsel tanpa sadar tangannya hanya bolak-balik pada foto Chika. Sepertinya gadis itu tak suka tersenyum saat sedang berfoto.

"Orang sebelah sudah mulai bergerak, dan kamu tidak bisa terlena seperti ini!"

Pihak sana yang dimaksud adalah tim istri sah yang mulai melakukan pergerakan untuk menggeser posisinya yang tidak aman. Adel adalah satu-satunya aset dan harapan dia bisa merasakan semua kemewahan ini, karena cowok nakal itu anak kesayangan Tuan Besar.

Lahir dengan sendok emas di mulut dan dimudahkan apa saja membuat Adel suka melakukan kenakalan. Saat mulai mengerti tentang keluarga tak harmonis ini, dia tau jika posisi anak kesayangan saja tidak cukup karena dirinya bukan terlahir dari pernikahan yang sah.

Rules tetap rules. Adel tidak bisa menjadi ahli waris sedangkan Tuan Gracio Dirgantara menjadikan putra bungsunya satu-satunya pewaris tunggal, walau melawan hukum. Entah bagaimana semua ini berjalan nanti.

"Setidaknya kalau kita kalah di sini, kamu masih punya Indira. Apa yang kurang dari dia sebenarnya?" tanya Dhea masih mendikte putranya. Adel terus menghindari tatapan penuh intimidasi dari ibunya, rasanya muak sekali, tapi dia juga cinta dengan kemewahan dan tak hidup gembel.

"Rasa nyaman mungkin!"

"Rasa nyaman itu bisa dicari! Kamu akan terbiasa dengannya, dan rasa nyaman itu akan datang dengan sendirinya. Ahhh! Capek Mama ngadepin kamu," keluh Dhea dengan nada frustrasi. Ibu Indira sering mengadu soal Adel yang terus mengabaikan putrinya, Dhea terus merasa tak enak hati, berjanji akan menasihati Adel walau hasilnya tetap sama. Adel tetap cuek dan tak peduli pada Indira.

"Bagaimana kalau Indira capek, akhirnya dia move on dan dapat laki-laki lain?"

"Baguslah, Ma. Kan memang seharusnya begitu."

"Oh Tuhan! Kenapa anak aku bisa begini?" keluh Dhea.

Adel masih saja fokus dengan ponselnya, sebenarnya menatap tak berkedip pada foto Chika sedari tadi. Jika seluruh penghuni sekolah Agantha48 mengagumi kecantikan Marsha, dia lebih suka melihat Chika.

"Simpan ponsel busuk itu, cepat angkat bokong jelekmu temui Indira yang sedang berada di lokasi pemotretan. Mama memaksa!" perintah Dhea.

"Adel! Satu!"

"Dua!" Adel menjawab ibunya.

"Adel! CEРАТТТТ!"

Saat ibunya berusaha untuk merebut ponselnya cowok itu dengan sigap dan gerakan kilat menutupi ponselnya, jangan sampai ibunya tau apa yang dia lakukan.

BADBOYYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang