"Dua puluh satu ..., dua puluh dua ..., dua puluh tiga ...."
Suara Bu Emi, guru matematika, terdengar begitu lantang saat menghitung jumlah hukuman yang sedang aku jalankan. Squat jump seratus kali. Tidak, bukan karena aku telat mengumpulkan tugas matematika, tugas itu sudah dikerjakan oleh Lala dan adikku, jadi sudah dikumpulkan tadi pagi.
"Udah, Bu. Saya capek banget."
"Badan saya udah gemetar ini, Bu."
"Bu, tiga puluh kali aja ...."
Suara protes dan keluhan dari teman-temanku terdengar saling bersahutan. Iya, sebenarnya bukan hanya aku, kami sekelas dihukum karena membuat keributan saat jam kosong. Hal yang sudah sangat lumrah terjadi.
"Ibu, ini kalo saya mati gimana?" celetuk Adit dengan peluh yang mengalir deras dari wajah merahnya.
Hukuman anak lelaki berbeda, mereka diminta push up seratus dua puluh kali.
"Berani berbuat, berani bertanggung jawab," ucap Bu Emi sambil membenarkan kacamata tebalnya.
"Saya gak sanggup, Bu," keluh Deon yang tengkurap begitu saja di lapangan. Lemah.
"Bu, saya udah selesai," ujarku dengan suara lantang, membuat diriku mendadak menjadi pusat perhatian.
"Belek, lo pasti boong, 'kan? Gue aja belum ada setengahnya." Carissa menatapku tak percaya.
"Ibu percaya, 'kan, saya udah ngelakuin squat jump seratus kali?" tanyaku kepada Bu Emi.
"Saya percaya, karena kalau soal fisik, kamu tidak bisa diragukan," jawab Bu Emi, membuatku sumringah.
"Belek, gantiin gue please." Carissa menampilkan wajah sok sedih.
"Gak bisa. Belle harus pergi ke kelas duluan, beresin kekacauan yang kalian perbuat." Bu Emi melotot ke arah Carissa
"Bu, saya juga udah selesai," teriak Reza dengan PD-nya.
"Kamu baru dapet setengahnya."
"Ibu tau dari mana? Ibu dari tadi gak ngeliatin saya." Reza bicara dengan nada sedikit membentak.
"Kamu ini gak boleh songong sama orang tua, saya orang tua kamu di sekolah. Walau saya gak ngeliatin kamu, mata saya ada banyak, ada dimana-mana ...."
Aku tertawa mendengar teman-teman sekelasku yang saling berbisik dan mendesis. Mereka sudah cukup lelah dengan hukuman yang diberikan, sekarang malah harus mendengarkan Bu Emi bicara, yang sudah pasti panjang lebar dan sedikit tidak jelas.
Aku sendiri sudah mulai berjalan ke arah kelas, tidak mau mendengar beliau bicara sampai selesai. Aku tahu pada akhirnya akan mengatakan hal yang tak pantas saking kesalnya dengan ucapan beliau, kalau itu terjadi lagi, bisa-bisa aku malah kualat dan menjadi anak bodoh.
Sekarang kalian harus tahu bagaimana keadaan ruang kelasku. Pertama, meja berantakan dan rusak. Adit dan Deon memperagakan acara pernikahan, jadi mereka menyusun beberapa meja untuk panggung, dengan dua kursi di atasnya sebagai tempat duduk pengantin. Kami yang menjadi tamu undangannya ikut naik ke susunan meja tersebut. Sialnya, beberapa meja yang kita pakai sebagai pijakan patah.
Kedua, Reza beserta kedua temannya, Aldo, dan Aldi, bermain bola di kelas yang menyebabkan jendela pecah.
Ketiga ... aku tidak ingin menjelaskannya dengan detail. Intinya, vas bunga kecil yang ada di meja guru, beserta CCTV di pojok kanan atas depan ruangan pecah. Ya, kami membuat keributan ini di kelas yang ada CCTV-nya. Memang semua orang di sini bodoh, kecuali aku.
Kami harus mengganti rugi semua itu dengan uang kas kami sekarang, yang padahal rencananya akan digunakan semuanya untuk acara kenaikan kelas.
Aku yang biasanya malas, kali ini langsung membersihkan pecahan vas, sebelum akhirnya Stella datang untuk menggangguku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Zavian
Teen FictionUntukmu, lelaki pemilik tatapan sedalam samudera dan senyuman sehangat mentari. Aku tak pernah lupa dengan awal pertemuan kita yang kurang baik, rasanya saat itu aku baru saja mengalami bencana besar. Sampai pada akhirnya takdir kembali mempertemuka...