Aku memutar mata untuk melihat sekeliling ruangan yang kutempati, ruangan yang didominasi warna putih ini terasa semakin sunyi. Di samping kananku terdapat sebuah tiang infus, yang selangnya tersambung dengan jarum yang saat ini menusuk punggung tanganku. Iya, setelah insiden tadi siang, akhirnya aku dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan. Aku mendapat jahitan di kepala kiriku, berdekatan dengan luka bekas mangkuk yang dilempar oleh Stella di dahiku waktu lalu.
Aku mengubah posisi menjadi duduk di atas brankar, mengulurkan tanganku ke arah meja yang ada di samping kiri untuk mengambil satu dari banyaknya camilan yang diberikan teman-temanku saat menjenguk. Aku tidak bisa melakukan apapun selain makan. Aku bisa saja main HP, tapi aku sudah bosan setelah menjelajahi semua aplikasi yang ada.
Aku menaruh kembali camilan yang sisa separuh, memilih berjalan di atas lantai yang dingin, sembari mendorong tiang infus ke arah jendela yang posisinya ada di pojok ruangan. Kebetulan ruanganku memang ada di pojok.
Aku menatap ke bawah, lebih tepatnya ke taman, memperhatikan beberapa orang sedang berbincang di sekitar lampu-lampu yang sedikit menyingkirkan gelapnya malam. Rasanya aku ingin bergabung dengan mereka, mengingat saat ini aku hanya ditemani oleh suara detik jam. Aku jadi menyesal menyuruh Arkan pulang saat dia memaksa untuk menjagaku tadi.
Aku memejamkan mataku, menarik napas dalam, berusaha menepis pikiran buruk yang sering muncul di kepalaku belakangan ini. Pikiran ini mulai muncul semenjak Zavian menceritakan bagaimana dia bertemu dengan seorang pria yang melakukan kekerasan terhadap gadis kecil. Selain itu, perasaanku juga jadi tidak enak. Gelisah, takut, sedih, semua bercampur menjadi satu.
Lalu, apakah sebenarnya pria yang ditemui Zavian saat itu, sama dengan pria yang kutemui kemarin? Pria yang setia menjadi mimpi buruk untukku. Aku menampar pelan pipiku, supaya kesadaranku kembali, setelah cukup lama tenggelam dalam pikiran yang semakin liar.
Aku kembali berjalan menuju brankar, duduk di atasnya, dan tak lupa meraih HP yang sejak tadi ada di atas meja. Aku mengambil gambar wajahku yang sedang memajukan bibir, lalu mengirimnya ke WhatsApp Arkan. Dalam hitungan detik, notifikasi sudah muncul di layar HP-ku. Namun, tunggu ....
Ayang Zavian
|Kenapa cemberut, Belle?
23.36Aku langsung melebarkan mataku setelah melihat nama yang tertera, lalu cepat-cepat menghapus fotoku. Kenapa lelaki ini ada di kontakku? Aku tidak pernah menyimpannya.
Ayang Zavian
|Kenapa dihapus?
23.36
|Aku masih pengen liat.
23.37Aku mengusap kasar wajahku, sepertinya aku tahu ini ulah siapa. Aku tidak membalas pesan Zavian, lebih memilih mengubah posisi menjadi berbaring sambil menutup seluruh tubuhku dengan selimut. Aku sangat malu, sekarang bibirku tak hentinya mengeluarkan kalimat umpatan.
Aku melirik HP-ku yang saat ini bergetar, Zavian menelepon, jelas langsung kutolak, tapi dia terus menelepon hingga aku merasa kelewat kesal, dan terpaksa menjawab.
"Kenapa nelpon gue malem-malem begini?" tanyaku pelan, setelah panggilan kami terhubung, supaya tidak menganggu pasien di sebelahku.
"Kamu sendiri kenapa belum tidur? Kamu harus istirahat," jawabnya dari seberang sana.
"Gue gak bisa tidur."
"Jadi, itu sebabnya kamu cemberut?"
Saking malunya mengingat kejadian tadi, aku yakin pipiku terlihat seperti tomat sekarang ini. Panas sekali.
"Gak usah bahas itu! Sekarang gue mau nanya, siapa yang simpen nomor lo di kontak gue?"
"Carissa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Zavian
Teen FictionUntukmu, lelaki pemilik tatapan sedalam samudera dan senyuman sehangat mentari. Aku tak pernah lupa dengan awal pertemuan kita yang tidak baik-baik saja, rasanya saat itu aku baru saja mengalami bencana besar. Sampai pada akhirnya takdir kembali mem...