Seperti biasa, aku selalu jogging di hari Minggu pagi, bedanya sekarang Carissa sedang tidak ikut. Di cuaca mendung seperti ini, memang kebanyakan orang lebih memilih untuk melanjutkan tidur, termasuk sahabatku.
Aku sudah berlari kecil selama 45 menit, dan aku memutuskan untuk beristirahat sebentar, sekalian membeli minuman dari minimarket. Baru saja sampai di depan minimarket, ada seseorang yang membuka pintunya dari dalam. Sial, dia lagi.
"Belle, abis jogging?" tanya seseorang yang akhir-akhir ini membuatku terganggu.
Aku tak menjawab pertanyaannya, aku malah memperhatikan gadis kecil di gendongannya yang belepotan karena eskrim.
"Anak mana lagi yang diculik?" tanyaku, yang membuat Zavian langsung mengerutkan alis.
"Oh ... kejadian waktu itu, aku lupa jelasin ke kamu."
Zavian menurunkan gadis yang sepertinya baru berusia lima tahun, mengajaknya duduk di kursi kosong yang hanya tersisa satu di depan minimarket.
Zavian merogoh sesuatu dari tote bag yang sedari tadi dipegangnya. "Belle, jangan di depan pintu, di sini aja."
Aku menurut saja, karena memang tidak mungkin aku berdiri di sini terus. Setelah berdiri di hadapannya, dia memberiku sebotol air putih dingin.
"Gak perlu, gue bisa beli sendiri."
"Aku tau kamu bisa beli sendiri, tapi aku pengen ngasih ini ke kamu."
"Gue tau lo pengen ngasih ke gue, tapi gue nolak."
Zavian sepertinya ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi aku meninggalkannya sebentar untuk membeli air, dan beberapa makanan ringan untuk dibawa pulang, baru setelahnya aku kembali berdiri di hadapannya.
"Apa yang mau lo omongin?" tanyaku sambil membuka tutup botol air, dan segera minum.
"Pertama kali kita ketemu, kamu nuduh aku penculik, sebenernya kamu salah paham."
Aku mendengus, "ya, terus apa? Cepetan ngomong!"
"Anak kecil itu emang diculik."
"Bisa nggak, sih, kalo ngomong jangan setengah-setengah, sengaja bikin gue emosi?"
Zavian terkekeh. "Kamu bener-bener emosian, ya?"
"Zavian!" Aku yang sudah kelewat kesal membentaknya.
Zavian tiba-tiba tersenyum, membuatku keheranan. Aku, kan, baru saja membentaknya.
"Lo kenapa?" tanyaku yang kini menggunakan nada lebih santai.
"Aku seneng, akhirnya kamu manggil namaku." Zavian tersenyum lebar, membuat matanya menyipit.
Aku baru sadar, selama ini memang aku tidak pernah memanggil namanya.
"B-bisa gak lo cerita sekarang? Langit makin gelap, gue gak mau kehujanan."
"Aku liat anak kecil itu digendong sama pria paruh baya, awalnya aku kira itu ayahnya, tapi anak itu nangis kenceng banget kayak ketakutan. Aku yang curiga ngikutin mereka ke satu gang yang ternyata jalan buntu. Anak itu dapat kekerasan di sana."
Deg
Aku yang sedari tadi mendengarkan cerita Zavian dengan seksama, tiba-tiba merasa jantungku berdetak lebih cepat, dan merasa sedikit sesak.
"Aku langsung nyamperin bapak itu buat–"
Zavian tidak melanjutkan ceritanya saat melihatku berbalik arah ingin pergi, tetapi kemudian dia menahan tanganku dengan cepat. Lelaki ini sepertinya gemar sekali melakukan hal ini kepadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Zavian
Teen FictionUntukmu, lelaki pemilik tatapan sedalam samudera dan senyuman sehangat mentari. Aku tak pernah lupa dengan awal pertemuan kita yang kurang baik, rasanya saat itu aku baru saja mengalami bencana besar. Sampai pada akhirnya takdir kembali mempertemuka...