Setiap anak pasti memiliki cita-cita yang random. Ada yang ingin menjadi polisi, dokter, pemadam kebakaran, guru, sampai ada yang ingin menjadi karyawan Krusty Krab. Mereka melihat kehidupan orang dewasa sama seperti Ultraman yang berpenampilan gagah dan selalu menang melawan musuh-musuhnya. Padahal kenyataanya tidak begitu. Semakin dewasa kita akan tahu bahwa hidup akan jauh lebih kejam dari villain yang ada di TV.
Cita-cita masa kecil yang sering kita lantunkan kencang-kencang, pelan-pelan akan memudar dengan sendirinya―atau bertumbuh dengan sendirinya. Beberapa mimpi ada yang gagal, ada pula yang berhasil mendapatkannya, dan ada juga yang rela mengalah demi realita kehidupan. Hidup memang tidak bisa ditebak.
Ada beberapa golongan yang bisa mendapatkan mimpinya: 1. Usaha, 2. Hoki, dan 3. Hak Istimewa. Aku meyakini bahwa semua orang pasti berusaha keras untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tapi tidak semua orang memiliki takdir yang sejalan dengan keinginannya. Aku juga meyakini bahwa manusia memiliki tingkat hoki yang berbeda-beda, entah itu; rezeki, kesehatan, hubungan, atau keluarga, mereka pasti memiliki satu atau semua diantaranya. Manusia adalah makhluk yang tidak pernah merasa puas, seberapa banyak hoki yang mereka terima, mereka tetap akan merasa kurang. Aku pernah berpikir bahwa manusia yang memiliki kehidupan serba beruntung adalah anugerah, tetapi kenyataannya tidak. Tanpa mereka sadari, apa yang mereka miliki bisa saja akan diambil secara tiba-tiba. Dan terakhir, hak istimewa (privilege). Manusia tidak bisa memilih siapa orangtuanya. Lahir dengan keluarga berada dan penuh kasih, it's good for you. Namun, jika lahir dari keluarga yang berbeda, stay strong and don't give up. Hak istimewa adalah musuh dari banyak persaingan manusia. Mereka mendapatkan apa yang tidak didapatkan orang lain (baik dari pendidikan, cara hidup, pola makan, tempat tinggal, keharmonisan keluarga, dan lain-lain). Beberapa dari pemilik hak istimewa tidak pernah mau mengakui dirinya terlahir istimewa, dan beberapa dari mereka menyelewengkan hak istimewa yang diberikan orangtuanya. Namun jika mereka memanfaatkan hak istimewa orangtuanya, maka tidak akan ada yang perlu mereka takutkan tentang masa depan.
Sejak kecil aku selalu konsisten tentang mimpiku. Aku ingin menjadi akrtis. Aku suka menonton TV hingga berjam-jam. Aku suka memeragakan mereka yang ada di layar kaca. Aku bisa menirukan dialog yang mereka perankan, mengikuti gerakannya, hingga menangis haru melihat alur cerita yang kutonton. Bagiku film adalah cerminan diri dari semua isi dunia. Aku bisa mengetahui karakter orang-orang yang tidak pernah kutemui dalam hidupku. Misalnya, aku tinggal di sebuah desa yang cukup jauh dari perkotaan, tetapi aku bisa tahu hiruk pikuknya Jakarta seperti apa hanya dengan melihatnya di televisi. Film memang suatu objek yang magis. Siapa pun yang menontonnya bisa merasakan emosinya: menangis, tertawa, marah, hingga benci. Film hanyalah sebuah gambar bergerak, tetapi memiliki dampak yang luar biasa bagi manusia.
Aku suka semua genre film, kecuali romansa. Bagiku romansa itu tidak menarik, membosankan, dan terlalu sulit terjadi dalam realita. Aku lebih suka film yang menantang, seperti horror, thriller, atau pun action (kurang lebih genre yang kutonton sesuai dengan realita kehidupanku yang suram). Ada satu lagi. Sejak kecil aku sangat menyukai drama kolosal. Aku suka menonton serial Angling Dharma, Misteri Gunung Merapi, Wiro Sableng, dan serial sejenisnya. Tapi anehnya, setiap kali aku menonton drama kolosal Buto Ijo, Mamak selalu marah dan langsung mematikan siaran tersebut. Mamak bilang drama itu buruk, seram, dan tidak baik untuk anak seusiaku yang masih menginjak kelas dua SD. Padahal menurutku, drama itu tidak semenyeramkan apa yang Mamak bilang. Jadi, diam-diam aku menonton dramanya tanpa sepengetahuan Mamak. Aku suka karakter Timun Mas yang begitu cantik dan gesit. Begitu juga dengan pertapa yang sangat baik membantu Timun Mas dari serangan Buto Ijo. Aku sampai heran mengapa Mamak begitu membenci drama ini.
Tidak hanya drama kolosal saja, Mamak juga tidak suka aku menonton acara infotainment. Dia tidak mau aku menjadi anak yang suka bergosip. Padahal aku hanya ingin menonton behind the scene para casts yang ada di lokasi syuting. Tapi seakan-akan acara infotainment adalah acara yang tak bermutu bagi Mamak. Pernah suatu hari saat aku sedang mengganti saluran TV―remote mendadak ngadat dan terhenti pada siaran infotainment yang meliput kehidupan Anjasmara dan casts pertapa dari drama Buto Ijo―aku menontonnya karena sudah lama sekali drama itu tamat. Casts pertapa (yang aku tidak tahu namanya siapa karena dia adalah pemeran pendukung) sedang menunjukkan lokasi syuting untuk drama terbarunya di tengah hutan belantara yang berjudul Dewa Api. Drama ini adalah babak lanjutan dari Buto Ijo. Belum selesai aku menonton acara tersebut, Mamak secara kasar mematikan tombol TV dan tidak memakai remote. Mamak mengambil sapu lidi dan memukul betisku kencang hingga aku menangis kejar. Aku bertanya apa salahku. Dan Mamak menjawabnya karena aku menonton acara infotainment. Mamak mengancamku akan menjual TV-nya jika aku masih kedapatan menonton drama kolosal dan acara infotainment di rumah. Sejak saat itu aku menuruti apa yang Mamak katakan. Aku tidak mau TV tabung berwarna hitam ini dijual. Hanya TV hiburanku di rumah ini.
Sewaktu tengah malam aku terbangun dari tidur dan hendak ke toilet. Aku melihat sebuah cahaya dibalik kegelapan ruang keluarga. Aku menebak-nebak, apakah Nenek ketiduran di depan kursi goyangnya lagi dan membiarkan TV semalaman penuh tersadar? Jika iya, Mamak pasti akan marah-marah perkara pemborosan tagihan listrik. Saat aku membuka sedikit pintu ruang keluarga, bukan Nenek yang kudapati melainkan sosok itu adalah Mamak. Aku mengendap-endap mengamati Mamak yang duduk di sofa menghadap TV. Tumben sekali Mamak menonton siaran ulang infotainment yang tayang pada dini hari. Tadinya aku mau protes karena Mamak boleh menonton sementara aku tidak. Tapi semakin langkah ini mendekat, aku mendengar suara Mamak menjadi sendu, suara ingus yang terus ditarik, dan gerakan pundak yang naik turun penuh sesak. Aku berhenti dari langkahku. Apakah Mamak menangis? Lalu aku menonton acara TV yang Mamak tonton. Berita tentang casts pertapa Buto Ijo yang sedang naik daun di drama kolosal terbarunya yang berjudul Dewa Api. Dan aku baru tahu namanya adalah Karsa Aranantyo. Aku tidak tahu kenapa Mamak menangis. Tapi aku mendengar suara lirih yang Mamak sampaikan, "Tega."
Aku tidak paham apa maksudnya. Lantas aku bertanya kepada Mamak. Tetapi dia tidak menjawab pertanyaanku. Lalu aku semakin penasaran. Aku mau protes dan menonton drama kolosal Dewa Api di depan Mamak, masa bodoh jika Mamak marah, toh dia semalam juga menonton infotainment di rumah tanpa sepengetahuanku. Tapi kali ini Mamak diam. Dia tidak menyuruhkan mematikan TV. Kemudian aku mencoba cara lain. Aku menonton infotainment di depannya lagi. Mamak tidak menggubrisku. Dia membiarkanku menonton dan bahkan omelannya hanya sekadar, "Bintang, kecikkan suaro TV itu. Nenek kau nak tiduk." Hanya itu.
Tentu aku senang. Aku sudah tidak dilarang untuk menonton siaran yang ingin kutonton. Tapi sepertinya peraturan itu hanya bertahan sebentar. Saat aku menonton acara infotainment itu lagi, saat ada Karsa Aranantyo memperkenalkan keluarganya, saat itu badan Mamak mematung hebat. Mamak melempar remote dan memecahkan layar TV tabung hingga pecah. Aku tak pernah melihat Mamak semarah ini. Dan sekarang aku mengerti arti dari kemarahannya. Dia bukan melarangku menonton infotainment atau drama kolosal, tetapi dia tidak ingin aku menonton Karsa Aranantyo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Star On the Stage
Bí ẩn / Giật gânTidak semua orang bisa meraih mimpinya dengan mudah. Bitta, seorang gadis desa bercita-cita menjadi aktris papan atas agar bisa bertemu dengan Karsa Aranantyo, bapak kandungnya yang selama ini telah menelantarkannya sejak kecil. Bitta memulai karier...