11

2 1 0
                                    

Aku sudah bertekad akan merantau ke Jakarta setelah lulus SMA. Tapi sayangnya, niat itu selalu dihentikan oleh Mamak. Mamak melarangku pergi jauh dan menyuruhku untuk tetap tinggal di Martapura. Mamak ingin aku kuliah jurusan pendidikan matematika, lalu menjadi guru di Martapura, selinier dengan pekerjaannya, dan memiliki kehidupan yang tentram bersama keluarga.

Mamak tidak ingin aku terlena dengan profesi akrtis. Dia tidak ingin aku seperti Bapak yang rela menukarkan keluarganya demi karier. Tapi, aku bukan Bapak. Aku ingin menjadi aktris untuk keluarga. Bahwa sosok keluarga adalah penyemangat untuk berkarier―bukan sebuah hambatan untuk maju. Aku ingin membuktikan kepada semua orang bahwa Mamak bisa membesarkanku sehebat ini dengan tangannya sendiri. Dan aku ingin membuat Bapak menyesal telah membuang kami.

Tapi Mamak selalu menghentikan ambisiku. "Jangan jadikan kesuksesan sebagai ajang untuk balas dendam, Bin. Nantinya hidup kau idak akan tenang. Mamak sudah sangat bangga memiliki Bintang yang seperti ini. Kita mulai berdamai saja dengan kenyataan ya, Bin? Anggap saja Bapak benar-benar sudah meninggal."

Ucapan Mamak benar. Aku memang sudah menganggap Bapak meninggal. Tapi, terus terang saja hatiku masih denial. Aku masih ingin membalaskan dendamku kepada Bapak melalui kesuksesanku. Bahkan jika semua pengorbananku memakan waktu yang lama dan panjang―atau mungkin jika suatu hari nanti Bapak meninggal sebelum aku membuktikan kesuksesanku―maka aku tak segan-segan memamerkan keberhasilanku di depan pusara pemakamannya setiap hari.

Namun, ada hal lain yang terus mengganggu pikiranku. Apakah keinginanku menjadi aktris hanya untuk membalaskan dendam atau karena memang aku cinta dengan akting? Aku yang baru menginjak 18 tahun, yang baru saja lulus SMA, hanyalah seorang remaja akhir yang baru saja memulai kerasnya kehidupan yang sesungguhnya. Gejolak semangatku masih meletup-letup, pencarian jati diriku baru saja dimulai, dan ambisiku masih terpusat dengan liar. Aku hanya ingin mencari tahu ke mana nantinya hidupku berada. Dan salah satu tangga yang ingin aku capai terlebih dahulu adalah menjadi aktris. Baru itu yang terlintas di pikiranku.

"Aku pengin jadi aktris untuk diriku sendiri, Mak. Ya, memang masih ada bayang-bayang Bapak dalam ambisi ini. Karena aku adalah anak yang dilupakannya. Aku cuma mau membuktikan bahwa aku bisa hebat tanpa bantuannya. Aku pengin dia melihatku. Aku pengin dia menyesal telah meninggalkan kita. Dan aku pengin diakui sebagai anaknya yang berhasil." Aku menangis dipelukan Mamak, dan Mamak membalas pelukanku dengan erat. "Mamak, aku sakit hati setiap lihat Bapak begitu menyayangi Gemmy dan istrinya. Aku marah tiap lihat Gemmy memiliki apa yang aku inginkan. Aku nggak terima hidup kami berbeda. Kita punya Bapak yang sama, tapi aku nggak bisa merasakan apa yang Gemmy rasakan. Gemmy nggak pernah hidup sesulit aku. Sudah 18 tahun lamanya aku melihat keluarga mereka hidup dalam kebahagiaan. Mana karma yang mereka dapatkan? Hidup mereka setiap harinya semakin sukses. Karier Bapak dan istrinya semakin maju, begitu juga dengan karier Gemmy yang semakin cemerlang. Lalu kehidupanku bagaimana, Mak?"

Mamak ikut menangis, bahunya naik turun menahan pilu. "Maaf ya, Nak, jika hidup kita seperti ini. Mamak memang idak sekaya Bapak, tapi Mamak berusaha mencukupkanmu dalam segala hal." Mamak melepaskan pelukanku. "Mamak hanya idak ingin kau terluka setelah bertemu dengan Bapak."

Aku masih ingat momen tiga tahun lalu saat Mamak menceritakan Karsa Aranantyo kepadaku. Dulu mereka adalah pasangan yang saling mencintai. Bapak adalah pria keturunan Jawa yang mengikuti program transmigrasi pemerintah ke wilayah kabupaten Ogan Komering Ulu Timur atau biasa disebut OKU Timur, tepatnya di Kecamatan Belitang. Sementara Mamakku tinggal di Kecamatan Martapura. Mereka adalah dua insan yang memiliki mimpi yang besar. Mamak ingin menjadi dosen sementara Bapak ingin menjadi aktor besar.

Ketika Bapak dan Mamak sedang jalan-jalan ke Lampung, Bapak melihat Mathias Muchus sedang berakting bersama lawan mainnya yakni Ira Wibowo untuk project film terbaru mereka. Bapak dan kerumunan warga lokal diperbolehkan menonton proses syuting dari batas tempat yang sudah ditentukan. Asisten sutradara sedang mengerahkan pemeran ekstra untuk bersiap-siap masuk ke dalam set lokasi. Bapak tertarik untuk bergabung menjadi pemeran ekstra, dan ketika niatnya itu tersampaikan, keberuntungan itu berpihak kepada Bapak. Berkat wajah karismatiknya dan logat bahasa yang menyerupai warga lokal, Bapak diberikan kesempatan mendapatkan peran kecil untuk menjadi warga Lampung dan nantinya akan berdialog bersama Mathias Muchus. Dari situ awal kariernya dimulai.

Star On the StageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang