17

1 1 0
                                    

Sudah dua hari aku tidak berkunjung ke rumah Nala. Pengumpulan risetku sudah cukup matang untuk diubah menjadi dialog yang pas untuk naskah. Kalau boleh jujur, sebetulnya riset dunia perancang bukanlah tujuan utamaku. Aku sama sekali tidak tertarik menjadikan Nala sebagai pemeran dalam film yang kubuat. Aku hanya ingin memancingnya lewat cerita yang kusampaikan.

Dulu semasa aku masih menjadi penulis skenario teater, aku pernah membayangkan jika Nala berperan sebagai tokoh yang kubuat. Dia akan berperan sebagai Mamak, Karsa akan berperan sebagai Bapak, dan Gemmy akan berperan sebagai aku. Reka ulang kehidupanku akan menjadi drama epik untuk mereka perankan. Tujuannya agar mereka bisa merasakan apa yang pernah aku dan Mamak alami di masa lalu. Namun aku tahu, melakukan semua cara di atas tidak bisa berjalan dengan mudah. Mereka tidak akan mau mengambil peran seperti itu. Maka aku mengambil tujuanku lain; menceritakan premis cerita kepada si pelaku―sebagai bentuk spoiler cerita.

Hari ini ada nomor asing meneleponku, tiga panggilan tak terjawab, telepon dari Bapak, lalu mengirimkanku sebuah pesan singkat yang menyuruhku untuk menemuinya di salah satu restoran area Gunawarman. Secara bersamaan pula muncul sebuah pesan dari Nala yang mengundangku makan malam untuk merayakan keberhasilan campaign Kebaya Lentera. Mendadak keningku berkerut. Mengapa Bapak memintaku menemuinya secara personal, sementara nanti malam aku datang ke rumahnya dan bertemu dengannya.

Lalu teleponku berdering lagi, telepon dari Bapak.

"Apa kau bisa datang siang ini?" tanya Bapak. "Ada yang mau saya tanyakan tentang kalung berbandul cincin milikmu."

Seketika badanku mematung, tanganku meraba leher dengan cepat. Aku baru tersadar bahwa kalung berbandul cincinku tertinggal di rumahnya saat melakukan photoshoot. Napasku menderu cepat. Dan aku tak punya pilihan lain selain mengambil kalung milikku.

Aku benar tidak dibohongi, Bapak beneran ada di restoran itu, dan dia menungguku dari kejauhan. Tanpa basa-basi aku langsung pada intinya saja. "Tolong kembalikan kalung milik saya."

Bapak menunjukkan kalung berbandul cincin dengan ukiran nama, tanggal pernikahan, dan corak matahari. "Jadi ini benar milikmu?"

Aku mengangguk. "Ya, kalung berbandul cincin ini adalah milik orangtuaku. Suranti dan Sukaryo. Kenapa? Apa Bapak mengenal kalung ini?" tanyaku menantang.

Bapak tertawa. "Benar dugaan saya. Jadi selama ini kamu adalah anak Suranti?"

Aku mengangguk mantap.

"Apa kamu masih mengira bahwa saya adalah Bapakmu?" ucapnya tegas. "Saya sudah jelaskan kamu di bandara bahwa saya tidak memiliki anak selain Gemmy. Apa semua alasan itu tidak cukup untukmu?" ucapnya berdecak lidah. "Anak zaman sekarang benar-benar nekat untuk mencari sesuatu yang tidak ada gunanya."

"Saya bisa senekat ini karena saya punya bukti bahwa Bapak adalah Bapak kandung saya yang sebenarnya. Bukan hanya dari foto pernikahan saja, tapi semuanya."

Kening Bapak mulai berkeriput dalam. "Jadi apa maumu? Kamu mau uang? Atau apa dari saya?"

"Saya hanya ingin minta penjelasan dari Bapak. Semua tentang alasan Bapak meninggalkan saya dan Mamak. Saya ingin mendengar jawaban itu dari mulut Bapak sendiri."

Bapak menghela napas panjang. Setelah diam cukup lama, akhirnya mau bersuara juga. "Semua terjadi begitu saja. Saya akui perbuatan saya memang salah, tetapi saya tidak pernah menyesalkan hal yang sudah berlalu."

Aku refleks meneteskan air mata. Pedih.

"Waktu itu karier saya sedang naik-naiknya. Saya tidak bisa mengungkapkan media kalau saya sudah menikah, karena hal itu akan mengganggu citra saya dan besar kemungkinan karier yang baru saya bangun berubah menjadi redup digantikan oleh aktor single dan muda. Saat itu drama kolosal lagi marak, tawaran dan kesempatan untuk menjadi pemeran utama sudah ada di depan mata saya. Ditambah waktu itu sutradara mengenalkan saya dengan sosok Nala. Tentu saya jatuh cinta dengan wanita itu karena kami punya mimpi yang sama dalam dunia entertain. Dia membantu saya untuk bisa mencapai di titik seperti sekarang," jelasnya serius. "Saat mendengar kabar kalau Mamakmu mengandung, di saat itulah saya merasa dunia saya hancur, mimpi saya menjadi berantakan, dan rencana saya seakan terhantam ombak besar. Saya tidak punya pilihan lain selain bercerai. Saya tahu ini pilihan sulit bagi Mamakmu, tetapi ini semua demi kebaikan kami bersama. Kesempatan menjadi aktor tidak datang dua kali, tetapi Mamakmu bisa melanjutkan hidup tanpa adanya saya. Dan saya berusaha bertanggung jawab dengan menafkahi kalian―"

"Omong kosong. Bapak tidak pernah menafkahi kami baik secara materi atau kasih sayang. Bapak tidak berperan apa pun dalam hidup saya sejak saya lahir."

"Ya, saya mengerti perasaanmu. Waktu itu jadwal stripping saya sedang padat-padatnya dan saya sering pindah-pindah tempat tinggal. Saya kehilangan alamat Mamakmu dan semua terbengkalai dengan kesibukan yang saya jalani. Tapi saya meyakini satu hal. Mamakmu pasti bisa menghidupimu dengan gaji yang dimilikinya. Dia mungkin tidak butuh saya lagi dan akan melupakan saya dengan cepat. Saya memilih untuk dibenci Mamakmu dibandingkan membuat Mamakmu berharap saya akan kembali ke pelukannya. Lagi pula perjalanan kami sudah usai. Saya punya perjalanan hidup baru dan keluarga baru yang saya cintai. Jadi seperti itulah yang bisa saya ceritakan kepadamu."

Aku mengelap air mata yang terus banjir tanpa henti. Selama Bapak bercerita, tak henti-hentinya aku mencubit pahaku hingga menjadi kaku dan biru. Rupanya sakit fisik tak ada apa-apanya dibandingkan dengan sakit batin. Luka di paha mungkin akan hilang esok pagi, tapi luka batin akan menghantuiku dari bangun pagi hingga malam, terus-menerus. Bapak mungkin tidak membawa parang, tapi jantungku rasanya seperti disayat hingga potongan terkecil. Begitu juga dengan lidahnya yang tak bertulang, mendengar penjelasan darinya bisa membuatku habis seperti dihajar hingga babak belur.

Pembawaan Bapak terlalu tenang untuk kepalaku yang berisik dengan berbagai rentetan pertanyaan; mengapa. Alasannya tidak membuatku merasa lega. Aku tidak mengerti bagaimana Bapak bisa terlihat baik-baik saja setelah menghancurkan hidupku, darah dagingnya sendiri.

"Bapak nggak ingin minta maaf ke saya? Setelah sekian lamanya Bapak meninggalkan saya? Tidak ada sedikitkah rasa penyesalan Bapak kepada saya? Atau minta maaf kepada Mamak atas segala perbuatan jahat Bapak kepada kami?" tanyaku menggebu.

"Saya akui kalau saya memang jahat terhadap kalian. Tapi coba pikirkan lagi. Jika saya kembali ke Martapura dan hidup dengan kalian, kamu mungkin akan melihat kami bertengkar setiap hari karena masalah ekonomi. Mamakmu punya pekerjaan tetap dan saya adalah pengangguran. Saya akan menyesal karena tidak bisa meraih mimpi yang selama ini saya inginkan. Dan mungkin juga kamu tidak akan bisa berada di sini jika saya dan Mamakmu masih bersama. Kamu tidak akan sehebat ini tanpa dirimu dan gen yang ada di dalam diri saya. Ambil sisi positifnya saja. Tanpa hambatan, kita tidak akan mendapatkan kemenangan."

Gigiku menggertak. "Apakah selama ini saya adalah hambatan Bapak?"

Bapak diam sesaat, namun tak lama dia mengangguk. "Secara kasar, iya."

Aku geleng-geleng kepala. "Apa Bapak bisa bahagia dengan hidup seperti ini?"

Bapak tidak menjawab pertanyaanku. Dia menyesapi kopi Vietnam terakhirnya. "Sudah cukup dengan penjelasan saya? Saya harap kau tidak lagi mencari saya. Anggaplah kita tidak punya hubungan apa pun." Bapak meletakkan cangkir kopinya dan mengemasi barang-barangnya ke dalam tas. "Ah, satu hal lagi. Jangan pernah kau mengakui siapa dirimu di depan keluarga saya dan media."

Alisku bertaut kesal. "Kenapa? Bapak malu sama kelakuan masa lalu Bapak?"

"Bagi saya masa lalu itu adalah aib yang harus dikubur. Saya tidak ingin media ribut membicarakan keluarga saya."

Sungguh egois dan narsistik.

"Saya tahu hidup ini tidak pernah adil―"

"Apa katamu?" sambung Bapak.

"Saya ingin menciptakan keadilan itu sendiri. Berperanlah dalam naskah yang saya buat. Sama seperti Gemmy mendapatkan karmanya melalui naskah yang saya ciptakan―meskipun tidak sepenuhnya menderita, tetapi setidaknya dia tahu betapa sakit hatinya menjadi saya dan semua sikap kalian terhadap saya."

"Saya tidak ingin bermain-main denganmu, Bitta." Lalu Bapak bersila tangan. "Oke, begini saja. Saya akan merekomendasikanmu PH terbaik untuk membuat kariermu lebih baik lagi, atau memberikanmu pendidikan terbaik di luar negeri untuk kepenulisan skenariomu itu, bagaimana? Kau bisa mendapatkan ketenaran dan kekayaan dari situ. Mamakmu pasti bangga melihat kesuksesanmu."

Aku semakin menangis dan kupingku rasanya panas memerah. Tidak ada artinya aku mendapatkan seribu sanjungan jika yang kuinginkan hanyalah satu; pengakuan dari Bapak.

"Apa Bapak nggak pernah bangga dengan pencapaian saya selama ini?"

Bapak berpikir dan menaikkan sudut bibirnya. "Saya bangga, tetapi yah... begitulah. Kamu pantas untuk mendapatkan apresiasi lebih tinggi bukan dari saya saja."

Sungguh hatiku semakin sesak. Aku tak sanggup berada di tempat ini lama-lama.

"Pikirkan sekali lagi mengenai penawaran saya sebelum saya akan bertindak lebih jauh dari ini," ancamku meninggalkan Bapak lebih dulu. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 17 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Star On the StageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang