6

15 7 0
                                    


Aku bertanya siapa sebenarnya Karsa Aranantyo. Apakah dia keluargaku? Dan kenapa Mamak bisa sebenci itu kepadanya? Aku tidak mungkin mengira pria itu adalah Bapakku, sebab Mamak bilang Bapak sudah meninggal saat aku lahir ke dunia―meskipun hingga detik ini di umurku yang ke-15 aku tidak tahu di mana letak pemakamannya―tapi yang jelas dari namanya saja antara Karsa dan Sukaryo jelas berbeda.

Mamak tidak mau menjawab pertanyaanku meski aku merengek atau mogok makan sekali pun. Begitu juga dengan Nenek. Dia menatapku sendu dan berkaca-kaca. Apa yang sebenarnya terjadi? Lantas aku nekat membongkar lemari Mamak yang selalu tertutup rapat. Aku tahu dia selalu meletakkan kuncinya di bawah tempat tidurnya. Dan aku berhasil mendapatkannya dan mengambil sebuah kotak di dalamnya. Begitu aku membukanya, tiba-tiba Mamak datang dan merampas kotak yang belum terbuka. Mamak memarahiku dan aku dengan kesalnya memberontak ucapannya. Aku tahu ini salah, tapi aku benci semua orang menutupi rahasianya dariku. Nenek yang mendengarnya kemudian menengahi pertikaian kami.

"Bintang udah besak. Udah waktunyo dio tau yang sebenarnyo," ujar Nenek kepada Mamak.

Mamak menarik napas dalam. Jemarinya yang hangat itu kemudian merangkul pundakku untuk ikut bersamanya menuju ruang tamu. Mamak membukakan kotak yang berisi album foto, buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak), dan gelang persalinan. Aku membuka album foto yang kovernya sudah memudar. Di dalamnya ada foto pernikahan Mamak dan Bapak dengan penuh cinta. Banyak foto kebahagiaan mereka tertuang di sana. Di dalam album foto itu belum ada aku yang lahir ke dunia, bahkan tidak ada foto Mamak saat hamil.

Lalu aku kembali pada topik, "Siapa sebenarnya Karsa Aranantyo? Dan apa hubungannya dengan Mamak?"

"Pria itu adalah Bapak kandung kau. Maaf kalo selamo ini Mamak budikanmu, Bintang. Bapak ninggalkan Mamak pas lahirkan kau. Dio pergi dan tak pernah kembali lagi," ujar Mamak menangis tersedu.

Aku tercengang, badanku mematung, dan kulit tanganku mendingin. Aku tidak menyangka jika aku masih memiliki sosok Bapak. Entah aku harus senang atau sedih. Aku sulit membedakan rasanya. "Kenapa Bapak pergi meninggalkan kita, Mak?" Hanya itu yang bisa kutanyakan.

"Karena Bapak adalah pria yang pengecut dan tidak bertanggung jawab, Nak," ujarnya menutup kotak rapat-rapat.

Aku menangis. Aku tidak menyangka Bapak bisa setega itu kepada kami. "Apa aku adalah anak haram?" Aku sering mendengar kosakata itu dari sinetron yang selalu kutonton.

Mamak menggeleng dan tertawa. Dia memelukku dengan hangat dan melanjutkan ceritanya, "Kau adalah anak kami, Nak. Halal secara agama dan tercatat secara hukum. Hanya Bapak kau saja yang tidak bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Dia hanya tidak ingin kariernya turun setelah memiliki seorang anak." Mamak merapikan poniku yang berantakan. "Semoga kau mengerti tentang apa alasan Mamak melarangmu menonton TV. Mamak hanya tidak ingin kau melihat Bapak."

Aku menyeka air mata dan memandangi foto Bapak saat masih muda. Aku membandingkan wajahnya yang dulu dengan yang sekarang. Masih sama tampannya. Jika dulu penampilan Bapak begitu norak; rambut gondrong, brewokan, serta kulit yang kusam. Tapi sekarang Bapak menjelma menjadi pria yang tampan. Rambutnya sudah tidak gondrong lagi, alisnya tebal, kumisnya nyaris tak terlihat, bahkan kulitnya jauh lebih cerah. Pantas saja selama ini aku terkecoh dengan penampilannya yang sekarang. Perubahannya benar-benar berbeda dari zaman mudanya.

Sukaryo Prananto adalah nama sebenarnya. Dia menggunakan nama Karsa Aranantyo sebagai nama panggungnya saat menjadi artis. Aku bergidik. Nama dan wujudnya sama-sama palsu.

Star On the StageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang