Aku rutin mengunjungi rumah Nala untuk proses riset naskah terbaruku. Kali ini Nala mengenalkanku pada staf kepercayaannya, Bu Mumun. Sorot mata Bu Mumun selalu tajam melirikku, seakan dia tidak menyukai keberadaanku di tempat ini. Bu Mumun dengan suara malasnya mengenalkanku pada alat-alat jahit di sekitar ruangan, memperlihatkanku cara memotong kain, dan memberiku masukan cara mengukur dan menjahit yang benar.
Di saat aku merekam detail-detail ruangan kerja, tanpa sadar langkah kakiku menuruni anak tangga yang mengarah pada sebuah basement gelap. Ada sebuah pintu kayu tua yang kenopnya sudah usang dan karatan. Saat aku ingin membuka kenop tersebut, pergerakanku langsung dihentikan oleh Bu Mumun. Dia berkata bahwa tempat itu hanyalah gudang sisa kain yang sudah tidak terpakai lagi. Lalu aku diarahkan kembali ke ruang kerja Nala.
Aku melihat deretan foto yang berjejeran di dinding ruang kerjanya. Sorot mataku fokus pada sebuah foto lama. "Bukankah ini Ibu Suri?"
Nala bersedekap tangan, tanpa mengamati fotonya, dia mengangguk. "Kamu mengenalnya?"
Aku menggeleng. "Hanya sebatas berita infotainment di TV saja."
Nala tersenyum. "Seorang seniman akan dipandang hina jika dia memplagiati karya orang lain. Dia tidak sebanding dengan saya. Lihat saja, kariernya langsung redup setelah mengusik desain saya."
Aku berdeham lirih. "Saya turut prihatin melihat karya sebagus Bu Nala diplagiati oleh orang yang tak bertanggung jawab," ucapku berusaha berempati. Kembali pada topik selanjutnya. "Dengan banyaknya desainer muda dan pengusaha baru, apakah Ibu Nala merasa terancam dengan kehadiran mereka sebagai pesaing bisnis Ibu?"
Nala tertawa seraya menutup mulutnya. "Untuk apa saya takut dengan mereka. Justru bagus mereka bisa memulai kariernya dari sekarang. Butik saya ini sudah berdiri hampir 20 tahun. Kualitasnya masih sama, kepercayaan pelanggan masih saya pegang teguh, dan karyawan saya juga masih setia bekerja dengan saya."
"Kalau Ibu Nala tidak takut dengan kehadiran desainer muda, lantas kenapa dulu Ibu Nala dan Ibu Suri bertikai hebat sampai merujuk ke pengadilan? Padahal bisa saja desainer muda nantinya akan mencontek hasil rancangan milik Ibu."
Nala refleks menjatuhkan alat meterannya. Matanya berkedut sebelah. "Selain faktor plagiat, kami juga punya masalah internal mengenai pencemaran nama baik. It was a long story," ujarnya mulai terasa tidak nyaman.
Nala mengambil sebuah kebaya di dalam lemarinya. Kebaya modern berwarna ungu pekat dengan rok batik Pekalongan serta aksesoris payet di area perut―dibentangkannya lebar-lebar ke arah badanku. "Sepertinya kamu cocok pakai koleksi terbaru saya. Cobalah sebentar," pinta Nala kepadaku.
Aku melepaskan kalung dan menaruhnya di sekat dekat cermin. Sementara Nala membantuku memasangkan kancing dan mengaitkan bros pelengkap kebaya.
"Kamu pantas sekali mengenakan kebaya ini. Postur badan tinggi semampaimu tampak seperti nyawa dalam desain yang saya ciptakan," ujar Nala memujiku dengan mata berbinar. "Bagaimana kalau kita berkolaborasi? Kamu akan jadi model dari edisi terbaru saya; Kebaya Lentera."
Aku refleks menggeleng. "Saya nggak pandai berpose, Ibu Nala."
Nala cekikikan. Dia mengerti akan sikapku. "It's okay. Akan ada fotografer yang mengarahkan," jelasnya. Lalu menatapku lewat pantulan cermin besar yang ada di hadapan kami. "Kita coba sebuah campaign kecil lewat Instagram. Kamu akan dapat engagements untuk project-mu dan saya akan mendapatkan exposure dari akun Instagram-mu. Menarik, bukan? Saya lihat followers kamu lumayan banyak. Satu koma dua juta untuk seorang penulis skenario termasuk besar."
"Kalau saya bersedia menjadi model Kebaya Saya. Lantas, maukah Ibu Nala menjadi cameo dalam cerita saya?" bujukku yang kedua kalinya.
Nala tertawa. "Kamu ini bisa saja. Memangnya cerita apa yang sedang kamu buat?"
"Ceritanya belum tuntas dan masih meraba-raba." Tentang seorang wanita desainer bodoh yang tidak tahu kalau suaminya telah memiliki istri dengan wanita lain. Tidak, belum saatnya kata itu terucap. "Tentang dua sejoli muda yang saling jatuh cinta dan ingin meraih mimpinya bersama. Si gadis ingin menjadi desainer ternama, dan si lelaki ingin menjadi aktor terkenal."
Nala mengangguk tertarik. "Sound interested." Tangannya bersedekap. "Konflik?"
"Konfliknya gadis itu rela meninggalkan mimpinya demi lelaki yang dicintainya. Lelaki itu menjanjikannya manis, menikahinya, lalu pergi ke ibu kota dengan iming-iming mencari keberhasilan untuk kehidupan mereka. Setelah keberhasilan diraihnya, lelaki itu malah menikah dengan aktris lawan mainnya. Hal tersebut membuat istri pertama sakit hati karena dikhianati. Apalagi saat itu dia juga sedang mengandung anak dari lelaki yang meninggalkannya. Dia ingin bertemu dengan suaminya, tetapi suaminya tak mau mengakuinya sebagai istrinya lagi―melainkan menginginkan perceraian. Karena tak berpenghasilan dan butuh banyak uang untuk biaya persalinan anaknya, terpaksa sang istri harus menurunkan egonya untuk bercerai. Dia butuh uang itu untuk membesarkan bayinya. Dan ketika anaknya bertumbuh besar, dia bertemu dengan Bapaknya, lalu mereka―"
"Mereka apa? Teruskan ceritanya."
"Entahlah, masih belum tahu ending-nya seperti apa. Ada ide?"
"Anaknya balas dendam dan menjatuhkan karier keluarga Bapaknya?"
"Maunya sih begitu. Tapi terlalu mudah ditebak, bukan?"
"Iya, kamu benar. Terlalu klise. Meskipun premisnya menarik, saya tidak berani mengambil peran seperti itu. Bagi saya, akting itu seperti refleksi kehidupan. Saya nggak mau kejadian seperti itu terjadi pada diri saya atau keluarga saya."
"Ya, Ibu benar. Tapi setidaknya, Ibu sudah tahu apa cerita yang akan saya buat nantinya. Jadi, jangan lupa untuk menonton karya buatan saya."
"Tentu."
Lalu aku bercermin lagi. "Tapi, jika Ibu hanya membutuhkan beberapa foto untuk postingan Instagram saja, mungkin saya bisa bantu untuk mempromosikannya. Semua ini saya lakukan sebagai bentuk terima kasih saya karena Ibu telah membantu saya riset mengenai dunia menjahit."
Bola mata Nala cemerlang dan langsung membawaku ke ruang ganti. Di studionya sudah ada tim make-up dan fotografer yang selalu siap di ruang kerjanya. Mereka mendandaniku dengan riasan ala wanita Jawa. Begitu selesai aku dirias, Bu Nala terpukau menatap wajahku. "Kamu cantik sekali, Nak Bitta. Kulitmu ekostis seperti gula jawa. Mata monolidmu seperti orang-orang Asia Timur."
"Waktu saya make-up in Kak Bitta, saya merasa Kakak ini malah seperti Kak Gemmy dengan jenis kulit yang berbeda. Bentuk matanya juga tegas seperti Bapak," ucap salah satu perias.
Nala mendekatkan tubuhnya ke wajahku. Mengamatiku dengan saksama melalui cermin rias. "Kamu benar. Bola mata Bitta mirip seperti Bapak." Dia mengetukkan jemarinya di dagu. "Namun, untuk proporsi wajah sepertinya tidak terlalu mirip dengan anakku."
Aku tertawa palsu. "Mana mungkin orang desa seperti saya bisa mirip dengan keluarga Ibu."
"Ya, kamu benar. Mungkin hanya sebuah kebetulan saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Star On the Stage
Mystery / ThrillerTidak semua orang bisa meraih mimpinya dengan mudah. Bitta, seorang gadis desa bercita-cita menjadi aktris papan atas agar bisa bertemu dengan Karsa Aranantyo, bapak kandungnya yang selama ini telah menelantarkannya sejak kecil. Bitta memulai karier...