15

3 1 0
                                    

"Terima kasih atas jamuannya, Bu Nala," ucapku tersenyum sopan melihat aneka masakan Sumatera berjejeran di meja makan.

Nala menyambut kehadiranku dengan suka cita. Tak henti-hentinya dia mengucapkan rasa terima kasihnya kepadaku karena telah mempertahankan Gemmy sebagai pemeran Rena. Dan sekarang nama besar Gemmy kembali naik berkat film yang kubuat. Semua skandal masa lalunya mulai terlupakan dengan prestasi aktingnya yang memukau. Tentu saja hal ini menjadi kabar yang membahagiakan bagi keluarga mereka.

Dan inilah rencanaku: menjadi penyusup di dalam keluarga palsu ini.

Bapak mungkin sudah lupa pada momen 10 tahun lalu di bandara. Tapi aku masih mengingatnya dengan sangat jelas. Setiap kali masa lalu itu terlintas, semakin itu pula aku membencinya, hingga rasanya ingin sekali membunuhnya dengan tanganku sendiri. Rasa sakit diabaikan itu tidak akan pernah hilang meskipun aku menguburnya dalam-dalam atau menganggapnya telah meninggal. Nyatanya, aku belum bisa berdamai dengan pikiranku sendiri sebelum Bapak mendapatkan ganjaran atas perbuatannya.

"Bitta suka makanan pedas? Coba makan pindang patin buatan saya," ujar Nala memamerkan masakannya.

Aku mengangguk dan mengambil lauk secukupnya.

"Di rumah ini cuma suami saya saja yang suka pindang patin. Dia bilang rasanya seperti buatan kampung halaman." Lalu menatapku harap. "Enak?"

Secara mendadak perutku mual, dan sebisa mungkin aku berlari menuju toilet. Lambungku memang tidak bisa mendengar suara memuakkan seperti tadi. Bahkan masakannya sendiri pun rasanya lebih layak disebut sebagai sampah. Kalau mau membandingkan antara masakan Mamak dan Nala, masakan Mamak jelas tidak ada tandingannya.

Aku mengelap bibirku dengan air mengalir wastafel. Melemaskan rahang-rahang kebencian dengan senyuman palsu dan kembali ke meja makan. Aku duduk dengan tenang dan mengatakan maaf karena telah menimbulkan kekacauan. Aku terpaksa berbohong mengenai asam lambungku yang kambuh untuk tidak menimbulkan kecurigaan.

"Bitta asal mana?" tanya Nala basa-basi.

"Saya asli Sumatera Selatan."

"Wah, di mananya? Kebetulan Papinya Gemmy juga asli sana."

"Kabupaten OKU Timur, Bu."

Seketika Bapak tersedak makanannya. Sorot matanya tajam menatapku.

"Papi tahu daerah itu?" tanya Nala dengan cermat.

Bapak gelagapan. Lebih tepatnya suaranya terbata seperti mencari celah alasan. "Hanya sekadar tahu namanya saja, tapi belum pernah ke sana." Ekor matanya mengarah kepadaku. "Memang di daerah mananya?"

"Martapura," jawabku tegas.

"Namanya mirip daerah di Kalimantan Selatan ya? Kayaknya aku dulu pernah syuting di daerah situ," Gemmy menginterupsi.

"Iya. Memang namanya ada kemiripan. Tapi aslinya berbeda. Kami menyebutnya Martopuro. Kalau di Kalimantan sebutannya Martapura."

Percayalah, ketika menyebutkan nama suatu daerah, orang-orang akan mudah mengingat kejadian yang pernah mereka alami sebelumnya. Sekuat apa pun mereka berusaha melupakan suatu kisah, ingatan itu akan masuk lagi ke dalam otak dan menghantui mereka dengan visual bayangan yang ada di kepala. Karena sejatinya, suatu tempat tidak akan pernah berkhianat bagi mereka yang pernah singgah.

"Berarti kamu merantau sendiri ke Jakarta?" tanya Nala lagi.

Aku mengangguk.

"Kenapa nggak diajak saja orangtuamu tinggal di Jakarta? Penghasilanmu terbilang lebih dari cukup sebagai penulis skenario."

Aku tersenyum tipis.

"Mamak dan Nenek lebih suka dengan suasana desa dibandingkan hiruk-pikuk perkotaan. Lagi pula saya juga bisa pulang ke sana kapan pun saya mau. Semua tentang prioritas dan tanggung jawab saja."

Star On the StageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang