10

3 2 0
                                    

Akhirnya aku bertemu dengan Kak Nirmala, senior yang bisa mengajarkanku akting menangis. Kak Nirmala adalah mahasiswi yang berkuliah jurusan sendratasik. Dia dikenal sebagai bintang teater di kampusnya. Darah seninya mengalir dari orangtuanya yang merupakan pelakon dari teater dulmuluk. Ketika aku melihat kualitas aktingnya, aku terpukau dan terheran. "Kenapa Kak Nirmala idak main film aja? Akting Kakak bagus dan diakui banyak orang."

Kak Nirmala menggeleng, "Teater adalah bentuk cinta dan pengabdian akting yang sesungguhnya. Aku lebih suka hidup damai seperti ini dibandingkan hidup dengan sorot flash kamera 24 jam." Dia sudah tahu semua ceritaku, alasanku berakting, dan ambisiku untuk menjadi bintang. "Bin, hidup seperti Bapak kau hanya terlihat indah dari layar kaca, tetapi tidak di dalam realita. Jika kau benar-benar ingin jadi pemain film, kau harus sungguh-sungguh cinta dengan akting, bukan karena ambisi aja. Menurutmu, akting itu apa?"

"Berpura-pura menjadi sosok orang lain?"

Kak Nirmala terkekeh pelan. "Merefleksikan kehidupan orang lain, menjadi sosok yang belum pernah ada di dalam dirimu, dan memvisualisasikan sosok yang selama ini orang-orang bayangkan. Akting itu seni yang mahal karena menyangkut jiwa seseorang."

Kupikir selama ini akting adalah hal yang mudah karena hanya mengandalkan ekspresi wajah yang sering ditampilkan sehari-hari. Tapi dugaanku salah, akting adalah seni yang kompleks. Tidak semua orang bisa mengespreksikan perasaan dan mimik wajah mereka dengan baik. Tidak semua orang bisa menangis sambil tertawa. Tidak semua orang bisa tertawa sambil memendam amarah. Tidak semua ekspresi itu ada dalam diriku. Bahkan dengan berakting, aku merasa memiliki banyak kepribadian yang tidak pernah aku temukan sebelumnya. Aku semakin cinta dan ingin terus menggali potensi ini.

Kak Nirmala mengenalkanku pada grup teater kampusnya. Aku diajak berkeliling untuk mengetahui seluk-beluk dunia teater saat mereka latihan. Ada yang menghafalkan naskah, memilih kostum dan make-up, mengatur musik yang akan dimainkan, mengatur lighting dan blocking, serta beberapa properti sebagai aksesoris yang diperlukan. Tiba-tiba mataku menyipit dalam. Sebuah sorot cahaya dari arah panggung mulai ditampilkan―panggung besar yang biasanya hanya aku lihat di TV nampak jelas keberadaannya―bilik tirai merah gelap terbentang otomatis. Perlahan-lahan pelakon dan penari mulai memasuki area panggung.

Aku menyaksikan penampilan mereka dari kursi penonton. Mataku berbinar melihat para pemain memeragakan aktingnya dengan penuh penghayatan. Gestur yang mereka utarakan membuat hatiku berdebar penasaran akan lanjutan ceritanya. Saat lampu sorot meredup secara pelan, terdengar suara perempuan berlari dengan napas menderu, saat suara itu menghilang, barulah sorot lampu mulai mengarah ke tubuhnya. Perempuan cantik itu bermonolog dengan mimik wajah sendu, pandangannya tak terarah, dan gestur badannya gelisah. Penampilannya mengisyratakan sebuah tanda pencarian. Ke sana ke mari dia berlari, sampai-sampai dia tidak menyadari ada sebuah kabel yang terbelit di kakinya. Perempuan cantik itu tersandung dan tanpa sadar bahunya kejatuhan properti panggung. Dia merintih linu dan tidak bisa melanjutkan latihannya, sementara pentas akan berlangsung dalam dua hari mendatang.

Tiba-tiba saja Kak Nirmala menunjukku sebagai aktor pengganti dari temannya yang sakit. Aku si anak baru akan berpura-pura menjadi anak kuliahan atau anak teater untuk memerankan tokoh Juwita. Aku diberikan naskah cerita dan harus menghafalnya dengan cepat. Kak Nirmala memberikanku panduan tentang bagaimana menjadi Juwita, seorang wanita 25 tahun yang berusaha mencari adiknya yang telah lama hilang. Saat itu usiaku baru 17 tahun, aku tidak tahu bagaimana rasanya menjadi wanita dewasa yang sesungguhnya, aku tidak tahu bagaimana rasanya memiliki seorang adik, tapi satu hal yang bisa kurasakan dalam diri Juwita adalah aku tahu rasanya kehilangan―meskipun tidak seratus persen sama, tapi rasa kehilangan itu bisa aku rasakan. Aku kehilangan Bapak dan Juwita kehilangan adiknya. Aku mulai menyerap kata demi kata dari naskah yang ada di genggaman tanganku, menghafalnya, mencoba berimprovisasi, mengumpulkan emosinya, dan tibalah aku berada di atas panggung.

Aku akan berdialog dengan Kak Nirmala yang mana dia berperan sebagai polisi wanita. Sorot matanya yang tajam itu seolah memberikanku kesempatan untuk memasuki atmosfernya. Hatiku berdegup sangat kencang ketika aku menatap kursi penonton yang hanya diisi beberapa orang, seluruh pasang mata mengawasiku dengan penasaran. Aku mulai berdialog, tapi kerongkonganku bergetar, suaraku mendadak pecah seperti orang habis melihat setan, pikiranku mendadak kosong, aku lupa dengan naskah yang sudah kuhafal, namun cepat-cepat Kak Nirmala membantuku berimprovisasi hingga aku kembali mengingat naskah sebelumnya. Ketika scene-ku berganti dengan penari yang tampil, Kak Nirmala memberiku saran: "Bin, tenanglah. Ketika kau tampil di atas panggung, jangan tatap pasang mata mereka, tataplah kening mereka, atau langit-langit gedung, atau lampu sorot di ujung sana, anggap mereka semua patung atau rerumputan, anggap kau sedang mengobrol dengan diri kau sendiri di depan kaca, dan buatlah imajinasi untuk menenangkan pikiran kau itu. Lalu lepaskan semua emosinya di atas panggung ini. Buat mereka terpukau sama penampilan kau. Buat semua kerja keras kito terbayarkan dengan tepuk tangan haru dari penonton. Kau bisa, kan?"

Selama ini, akting yang selalu kucoba di rumah (di depan cermin) dan menurutku adalah bagus ternyata hal tersebut tidak ada apa-apanya ketika aku berada di atas panggung. Aku hanya semut kecil yang baru keluar dari lubang tanah. Aku baru diperlihatkan dunia yang sesungguhnya dari panggung ini. Aku mungkin hanya pemain pengganti, bukan pemain inti, tetapi tanggung jawabku setara dengan semua kru yang ada di gedung ini. Mereka sama bekerja kerasnya, dan mereka juga sama mendambakan sebuah apresiasi dari penontonnya.

Aku mulai memperbaiki kesalahan, mulai menghafal lagi, dan mulai berimprovisasi dengan benar. Percobaan kedua dengan dialog yang sama. Ketika lampu sorot mengarah ke tubuhku, tiba saatnya aku berakting gelisah, berlarian mencari adikku yang hilang, dan bertemulah aku dengan polisi wanita. Aku memajukan langkahku menghadap kursi penonton, berdialog dengan mimik kesedihan, berusaha fokus untuk tidak menatap mata penonton, dan ajaibnya cara itu berhasil kulakukan. Aku tidak gugup lagi, suaraku stabil, dan pikiranku tidak kosong lagi. Ketika pentas berakhir, semua pemain berbaris horizontal dan melakukan penghormatan penuh menghadap kursi penonton. Dan ketika kami semua membungkuk 90 derajat, bulu kudukku berdiri secara tiba-tiba, telingaku mendengar sorak sorai tepuk tangan dari kursi penonton secara meriah, mereka bangkit dari kursi dan memberikan kami tepukan yang sangat lama. "Good job, guys!"

Kata-kata itu mampu menghipnotisku, sungguh indah, sungguh bermakna. Aku sangat bangga dengan semua kerja keras ini. Sebuah apresiasi adalah bentuk penghargaan tertinggi dari seorang seniman. Mataku berbinar cemerlang. Hatiku berbisik mantap. Aku cinta akting. Aku cinta panggung ini. Aku mendambakan panggung yang lebih besar lagi.  

Star On the StageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang