12

5 1 0
                                    

Dengan terpaksa aku menuruti permintaan Mamak kuliah jurusan pendidikan Matematika. Aku memilih kampus yang sama dengan kampus Kak Nirmala karena hanya di sanalah aku bisa belajar akting dengan orang-orang yang kompeten di bidangnya. Aku mengambil UKM teater. Gedung latihannya masih sama, begitu juga dengan penghuninya―ada yang sama dan ada yang baru.

Kak Nirmala selaku ketua teater memberikan kabar gembira kepada kami bahwa teater Nusa Lestari mendapatkan kesempatan untuk tampil di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Betapa gembiranya aku akhirnya setelah sekian lama penantianku, akhirnya aku bisa ke Jakarta secara cuma-cuma. Apalagi aku dan tim akan pentas di panggung yang megah dan terkenal se-Jakarta.

Mamak tidak melarang kepergianku, karena bagaimanapun acara ini berasal dari kampus dan kehadiranku akan menjadi poin tambahan untuk mengharumkan nama kampus. Mamak membantuku mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke Jakarta.

Sebenarnya aku berharap bisa bertemu Bapak di Jakarta meskipun kemungkinannya sangat kecil. Namun, jika saja memang aku bisa bertemu dengan Bapak, aku ingin bisa memanggilnya dengan sebutan Bapak―ingin memastikan apakah ikatan batin kami masih terkoneksi atau tidak―dan ingin mengetahui reaksinya; apakah dia akan terkejut? Haru? Senang? Sedih? Atau menyesal? Aku penasaran.

Keesokan paginya aku dan rombongan tim Nusa Lestari pergi ke bandara menuju penerbangan Jakarta. Ini menjadi pengalaman pertamaku naik pesawat. Menjadi norak di sepanjang perjalanan adalah hal biasa. Bahkan ketika kami tiba di Bandara Soekarno Hatta, tak henti-hentinya aku menganga kagum. Wah, seperti ini rasanya berada di Jakarta. Orang-orangnya ganteng dan cantik, penampilan mereka luar biasa indahnya, tempat belajaan mewah berjejer di mana-mana, dan semua tampilan di tempat ini benar-benar potret nyata dari hasil film yang selalu kutonton.

Kak Nirmala berhasil membuyarkan lamunanku dengan menyuruhku membawakan koper make-up dan wardrobe. Dia menyuruh kami untuk bergerak cepat karena sebentar lagi jemputan akan segera tiba. Dan ketika melewati mini market, mendadak aku ingin membeli air minum untuk persediaanku selama di perjalanan.

"Boleh, tapi jangan lama-lama ya, Bin," ucap Kak Nirmala mengamati jam tangannya.

Aku langsung menitipkan barang-barangku pada Kak Nirmala, kemudian putar balik menuju mini market, mengambil satu botol air mineral, dan menunggu antrean pembayaran. Ponselku bergetar pelan, pesan dari Kak Nirmala yang mengatakan jemputan sudah tiba dan aku disuruh bergegas keluar. Aku mendadak panik dan gemetar karena antrean tersisa lima orang lagi―dengan keranjang belanjaan yang cukup banyak. Aku membalas pesan Kak Nirmala untuk menunggunya sekitar 5 menit lagi.

Dan ketika air mineral terbayar, aku langsung berlari kencang menuju titik tempat penjemputan. Saking kencangnya aku berlari, kakiku mendadak terpeleset dan menabrak bahu seseorang. Aku tak sengaja menumpahkan air mineral ke baju anak perempuan yang kutabrak. Anak perempuan itu kontan kesal mendapati baju mahalnya basah dan membuat dalamannya menerawang. "Kalau jalan tuh pakai mata," ungkapnya, mirip dengan adegan sinteron yang selalu kutonton saat adegan tabrakan. Gestur anak perempuan ini juga mirip dengan artis yang ada di TV. Matanya yang cokelat terang, rambutnya yang pirang kecokelatan, dan kulitnya sebersih awan pagi, membuatku penasaran seperti apa wajah cantiknya jika dia mau melepaskan maskernya.

"Maaf," ungkapku bersungguh-sungguh.

"Kalau semua masalah cuma bisa dibalas pakai kata maaf, penjara nggak akan laku, hukum nggak akan buat banyak pasal, dan penyiar televisi nggak akan punya berita untuk dibahas. Mata dibalas dengan mata. Tangan dibalas dengan tangan. Dan air ini dibalas dengan air ini," ucap perempuan itu dengan sengaja menumpahkan milkshake cokelatnya ke baju putih gadingku. Sungguh, perbuatannya benar-benar kejam. Setelah puas dengan aksinya, terdengar suara perempuan itu menyeringai, dan pergi meninggalkanku. Perempuan dengan tas berlogo LV, memakai hot pants biru, dengan kemeja putih mahalnya itu, berhasil membuat hari pertamaku di Jakarta menjadi runyam.

Star On the StageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang